Mohon tunggu...
Tateng Gunadi
Tateng Gunadi Mohon Tunggu... Guru - Pengajar

Pecinta buku, suka menulis, dan senang fotografi.

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Ada Alasan Sunset Negeri di Atas Awan Tidak Harus Diabadikan dengan Kamera (1)

9 Maret 2021   12:37 Diperbarui: 28 September 2021   15:41 188
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
dokumentasi pribadi /5/

Ini catatan perjalanan saya di bukit Sikunir (Dieng Plateu) bersama kawan serombongan dari Bogor.

Bus kecil yang kami tumpangi berhenti setelah terparkir rapi. Kami pun turun. Wuih, luar biasa rasanya. Udara dingin yang lebih dingin daripada di homestay! Benar-benar menggigilkan badan. Iklim sekitar pebukitan ini menggigit-gigit kulit.

Terminal di kaki bukit Sikunir ini persinggahan terakhir kendaraan roda dua dan roda empat, sebelum kami naik ke atas bukit dengan hanya mengandalkan kedua kaki. Tempat yang padat oleh kendaraan yang berdatangan. Juga, riuh oleh suara percakapan orang-orang yang berdesakan. Banyak bus kecil di sini, kendaraan pribadi, dan tentu saja sepeda motor berserak di banyak tempat.

Sambil menunggu instruksi panitia, sebagian dari kami menepi ke tempat penjual pakaian dan aksesoris khas Dieng. Tersedia lengkap untuk pria dan wanita, dari ukuran anak kecil hingga dewasa. Dipajang rapi jaket dan kaus berbagai ukuran. Kupluk tebal yang berguna menepis dingin di kepala, beragam warna dan pola. Begitu pula selempang yang melindungi bagian leher dari serangan udara dingin. Ada pula sarung tangan. Semuanya bermacam corak dan bahan.

Kami briefing sebentar. Panitia memberikan arahan teknis. Setelah semua paham, kami berdoa. Yang sudah berusia lanjut dan yakin tak sanggup menempuh perjalanan menanjak sekitar satu jam, lebih memilih tinggal di terminal.

Dengan mengucapkan bismillah, kami pun mulai melangkah. Jalan ini cukup lebar untuk ukuran pejalan kaki. Beraspal agak kasar. Menanjak dan berkelok.

Pada mulanya kami banyak bicara, tertawa-tawa. Namun, setelah beberapa lama ketika mulai ada tanjakan dengan anak-anak tangga dari batu-batu, percakapan mereda. Semua mengerti, berbicara akan menguras tenaga. Lagi pula, kami harus benar-benar konsentrasi pada jalan di depan.

Tanjakan dengan kemiringan yang tinggi. Batu-batu yang basah entah sehabis hujan atau karena embun yang sejak semalam turun. Sebelah kanan dinding bukit berupa tanah lembap, sebelah kiri jurang dengan pembatas pagar besi yang tampak kuat. Lampu penerangan tidak selalu ada, tidak tersebar merata. Lebih banyak bagian jalan menanjak yang gelap. Diperlukan lampu senter atau cahaya dari telepon genggam agar bisa melanjutkan perjalanan selangkah demi selangkah.

Saya tidak menanjak dengan naik lurus. Itu akan sangat melelahkan. Saya lebih memilih berjalan secara zig-zag. Lumayan untuk memperlambat kecapaian.

Beruntung kami kompak. Semua saling menuntun dan menguatkan. Bapak-bapak dan Ibu-ibu yang tidak muda lagi, dibimbing jalan oleh bapak atau ibu yang muda. Dipilih bebatuan yang sekiranya aman untuk diinjak. Ditunggui jika sejenak mau istirahat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun