Sehabis sholat subuh, saat burung nuri berkicau riang dan embun di daun pohon mangga juga belum kering, kakek sudah bersiap di beranda rumah menunggu cucunya yang sedang bersiap-siap. Hari Minggu pagi ini mereka merencanakan untuk lari pagi bersama mengelilingi kompleks perumahan kelas menengah milik kakek di dekat daerah Bintaro.
"Sudah siap apa belum cu?" panggil kakek kepada cucunya sembarimengetik-ketikkan jari jempol dan tengahnyamenggoda burung kenari peliharaannya yang selalu berkicau.
"Belum kek, sepatuku yang sebelah masih belum ketemu" sahut cucunya dari dalam rumah.
10 menit kemudian sepatuunya ketemu di antara tumpukan baju kotor. Cucu pun segera menyusul kakek ke beranda dan mengajaknya untuk segera berangkat sebelum matahari menampakkan wajahnya.
Sekitar 300 meter mereka berlari ada sebuah kolam ikan koi milik pak Jumadi, seorang guru besar Ilmu Politik di Universitas terkenal di Jakarta. "Istirahat sebentar cu, kaki kakek mulai capek" ucap kakek sambil duduk di tepi kolam sambil menyelonjorkandan memijat-mijat kakinya. "iya kek, kita istirahat sebentar saja, takutnya nanti bukannya sehat, malah kakek tambah sakit lagi, hehe" jawab cucunya sambil tertawa kecil. Sambil duduk melihat ikan koi berenang, kakek menyanyikan sepenggal tembang  jawa...
"Nadyan silih bapa biyung kaki nini,
Sadulur myang sanak
Kalamun muruk tan becik
Nora pantes yen den nuta."
Tiba-tiba air mata kakek jatuh perlahan dari matanya yang sudah sedikit mengerut. Sambil memegang tangan kakek, si cucu bertanya
"kek?... kenapa kakek tiba-tiba menangis? Apa karena sepatuku yang sempat hilang tadi sehingga kita kesiangan lari paginya?. Atau karena lagu yang kakek nyanyikan itu mengingatkan kakek kepada nenek yang sangat menyukai tembang-tembang semacam itu?. Sudahlah kek, nenek sudah tenang bersama Tuhan.."