Mohon tunggu...
Tarisya Milanti
Tarisya Milanti Mohon Tunggu... Lainnya - undergraduate student

hi

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Mengapa Pemimpin Wanita Lebih Berhasil dalam Menangani Krisis Covid-19?

1 Juni 2020   16:32 Diperbarui: 1 Juni 2020   17:34 220
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Para pemimpin wanita di seluruh dunia, dari kiri: Presiden Taiwan, Tsai Ing-wen; Perdana Menteri Selandia Baru, Jacinda Ardern; kanselir Jerman, Angela Merkel; Perdana menteri Denmark, Mette Frederiksen; dan Sanna Marin, perdana menteri Finlandia.

Disaat negara Indonesia dan negara lainnya masih kewalahan dalam menangani pandemi Covid-19, negara-negara seperti New Zealand, Iceland, Jerman, Taiwan, dan negara lainnya telah sukses dalam menangani krisis ini. Semua negara tersebut dipimpin oleh seorang wanita. Apa benar negara yang dipimpin oleh wanita jauh lebih baik dalam menangani krisis ini?

Penanganan Covid-19 oleh negara dilakukan dengan cara pembatasan sosial bersakala besar dan lockdown wilayah maupun negara. Salah satu caranya yaitu dengan menutup tempat-tempat umum, menutup penerbangan antar kota maupun antar negara, membuat protokol kesehatan, dan hal-hal lain yang perlu menjadi kerja sama antar pemerintah dan juga masyarakatnya. Pemerintah sudah pasti membuat banyak sekali kebijakan untuk diberikan kepada masyarakatnya yang juga akan sangat mengeluarkan banyak sekali pengeluaran untuk mengatasi tindakan preventif maupun pengobatan Covid-19 ini. Negara-negara kaya dan kuat seperti Amerika dan Jepang seharusnya dapat mengatasi permasalahan Covid-19 ini dengan sangat baik. Namun, apa yang terjadi tidaklah sama dengan perkiraan.

Donald Trump, Presiden Amerika yang terkenal dengan kesombongannya akan kekuatannya sebagai laki-laki dan seringkali merendahkan wanita. Tapi, Ia kalah dalam pertarungan ini. Amerika serikat juga dikenal sebagai negara adidaya yang sangat kaya dan sangat kuat. Pada saat ini, korban yang telah dikonfirmasi positif Covid-19 di Amerika telah mencapai 1,72 juta nyawa dengan angka 365.000 nyawa yang telah dinyatakan sembuh dan 100.000 korban jiwa. Jika Ia benar memiliki kekuatan karena Ia seorang lelaki, lalu mengapa Ia kalah dengan negara-negara di atas yang dipimpin oleh wanita? Jepang juga mengalami kewalahan pada tahap awal karena pemerintahnya yang tidak cepat tanggap dalam penanganannya. Padahal, Jepang merupakan negara kaya yang mempunyai teknologi cukup untuk melakukan tindakan preventif. Tapi, kekayaan dan kekuatan negara-negara tersebut terabaikan karena penanganan pemerintah yang tidak cukup peduli dengan pandemi ini.

Kasus sama lainnya terjadi di Kerajaan Inggris. Inggris telah tercatat sebagai negara dengan kematian terbanyak di Eropa dalam kasus Covid-19 ini. Perdana Menteri Inggris, Boris Johnson, yang mempunyai sejarah berkomentar seksis, berniat untuk meminimalisir ancaman Covid-19 ini, walaupun pada akhirnya Ia juga terpapar. Bahkan, Pangeran Charles sebagai putra mahkota Britania Raya telah dikonfirmasi bahwa Ia juga terkena Covid-19. Mengapa para pemimpin negara kaya dan kuat tidak berhasil dalam menangani krisis pandemi ini.

Pemikiran mengenai stereotip maskulin tampaknya berkorelasi dengan respons pandemi yang buruk. Banyak pengamat meyakini bahwa keberhasilan para pemimpin perempuan mungkin berasal pada sifat "feminin" tradisional mereka sebagai wanita, seperti empati, kasih sayang, dan kemauan untuk bekerja sama. Seperti yang diketahui bersama, bahwa menangani pandemi ini bukan hanya dibutuhkan teknologi yang canggih saja, melainkan rasa ingin saling membantu, rasa empati, kasih sayang kepada orang lain, rasa ikhlas dalam merawat dan menjaga juga dibutuhkan. Mungkin, itu yang tidak dimiliki para ‘pemimpin dunia’ yang hanya beranggapan laki-laki adalah makhluk terkuat sehingga apapun yang terjadi bisa terselesaikan, karena buktinya negara-negara yang dipimpin oleh wanita hebat justru jauh lebih makmur.

Pada kasus krisis ini, seolah-olah para pemimpin wanita ini mengikuti mantra "go hard and go early". Ardern, Presiden New Zealand, memberlakukan lockdown empat hari sebelum kematian COVID-19 pertama negaranya. “Saya sendiri, jajaran menteri dan direktur eksekutif [lembaga] pelayanan publik akan dipotong gaji 20 persen untuk enam bulan ke depan, karena kami merasakan warga Selandia Baru yang bergantung pada subsidi upah, melakukan pemotongan gaji, dan kehilangan pekerjaan sebagai akibat dari Pandemi global COVID-19," ujar Presiden New Zealand. 

Presiden Taiwan, Tsai Ing-wen, memperkenalkan lebih dari seratus langkah Kesehatan kepada masyarakatnya pada Januari, ketika Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) bahkan masih meragukan kemungkinan penularan virus ini dari manusia ke manusia.  Jika sifat "feminin" tidak menjelaskan kinerja kuat para pemimpin perempuan di masa krisis, lalu apa? atau ini juga berhubungan dengan perjuangan seorang wanita untuk menjadi pemimpin dan saat menjadi pemimpin memang lebih keras daripada apa yang dihadapi oleh laki-laki, sehingga terbentuklah wanita-wanita kuat seperti para pemimpin negara-negara tersebut.

Taiwan, menjadi negara pertama yang menyelesaikan krisis pandemi ini dengan hanya 3.000 kematian, padahal Taiwan adalah negara yang sangat dekat dengan pusat penyebaran virus yaitu di Negara China. New Zealand atau Selandia Baru, sudah siap untuk membuka lockdown dalam waktu dekat. Di Jerman, Angela Merkel, telah dipuji karena cepat tanggapnya dalam mengurus krisis ini dan menjadi pengingat terus-menerus secara berkala bahwa Covid-19 adalah "serious. So take it seriously". Jerman sejauh ini mencatat kurang dari 5.000 kematian, angka yang jauh lebih rendah daripada kebanyakan Negara-negara Uni Eropa. Jerman merupakan negara yang sangat banyak masyarakat usia lanjut, yang diketahui bahwa lansia memiliki potensi terpapar dan presentase kematiannya lebih tinggi daripada umur lainnya, tetapi jerman berhasil dalam penanganan pandemi ini karena kasusnya sudah turun secara signifikan.

Jadi, apa benar mereka dapat mengatasi krisis ini dengan sangat baik karena mereka mempunyai sifat tradisional “feminin” sebagai wanita?

Source: a, b, c, d, e

Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun