"Tapi sejauh ini semuanya baik-baik saja, kan?"
"Iya, alhamdulillah baik. Cepat atau lambat Abang juga pasti kerja setidaknya buat Abang sendiri atau keluarga Abang nanti. Sejauh ini Abang juga sudah senang, Abang sudah nggak bergantung lagi dengan Bapak dan Ibu. Bahkan Abang juga bisa kasih kalian uang jajan, meskipun kalian kadang mintanya nggak tahu diri." sambung Abang yang berhasil membuat aku dan Mas Rizky sontak tertawa.
"Kamu sendiri, gimana rasanya tinggal berdua dengan Bapak?" Tanya Abang balik.
"Senang dan cukup damai juga. Seperti yang Abang dan Mas tahu, Bapak orangnya cukup diam. Kita ramai kalau sedang makan atau menonton TV saja. Tapi itu sudah nyaman buatku, aku jadi punya ruang untuk diriku sendiri begitupun juga dengan Bapak dan kita nggak tertarik untuk saling ikut campur."
Abang dan Mas hanya mengangguk kecil sebelum akhirnya kita kembali nyaman dalam diam. Menyisakan suara tetesan sisa air hujan sore tadi yang jatuh ke dalam ember hijau yang sengaja aku siapkan untuk menyiram bunga besok pagi. Iya, seperti yang kalian pikirkan.Â
Aku dan kedua kakakku tinggal terpisah semenjak Ibu dan Bapak memutuskan untuk bercerai. Abang yang sudah bekerja mau tidak mau menetap di kota asing, aku yang masih harus menempuh pendidikan memilih hidup dengan Bapak, dan Mas Rizky yang baru saja menyelesaikan pendidikanya lebih memilih hidup dengan Ibu di kota kecil. Angin malam ini kembali membuatku mengeratkan jaket dan meneguk kopiku sekedar menghangatkan badan. Bersamaan dengan asap rokok yang ditiupnya keluar, Mas Rizky kembali bicara,
"Ternyata aku bisa juga merindukan kalian dan yang kali ini serius"
"Oh ya?" godaku sambil kembali meneguk kopiku.
"Padahal dulu kita sendiri yang janji mau selalu bersama, tapi nyatanya kita harus berjalan sendiri-sendiri. Setelah meninggalkan semua hal tentang kota ini, perasaan paling menyakitkan buatku cuma kesepian. Dimana saat aku punya perasaan yang ingin kubagi dan aku  melihat sekelilingku, aku sadar kalau nggak ada seorangpun yang bisa aku ajak untuk berbagi. Bahkan ibuk sering sekali susah diajak berbagi, justru aku malah dimarahi karena belum melamar pekerjaan."
Aku dan Abang masih terdiam mendengarkan.
"Aku merindukan teman-temanku dan kalian berdua. Semuanya. Tapi rasanya seperti meneriakkan rindu ini di ruangan kedap suara, percuma. Nggak akan pernah sampai karena memang nggak ada mediumnya."