Oleh: Tarmidinsyah Abubakar
Tidak sedikit kita menyaksikan sejumlah jabatan politis dan strategis dalam pemerintahan  menimbulkan masalah tersendiri yang kemudian menyebabkan sebahagian orang berpikir untuk meniadakan atau mengubah formulasinya.
Tidak perlu contoh yang rumit, misalnya saja pasangan calon presiden, pasangan calon gubernur, pasangan calon bupati yang merupakan suatu kontestan dalam pilpres. Kontestan ini bermakna dwi tunggal yakni dua untuk satu.
Untuk melihat sejauhmana menjadi permasalahan dalam penyelenggaraan pemerintahan, kita dapat memunculkan beberapa hipotesa politik yang selanjutnya membutuhkan jawaban untuk kejelasan sistem dwitunggal dalam kekuasaan politik pemerintahan tersebut.
Pertama, sistem kekuasaan politik pemerintahan dwitunggal ini hanya menjadi permasalahan dalam kepemimpinan pemerintahan.
Kedua, sulit membagi kekuasaan dalam memerintah, karena cenderung menimbulkan dualisme kekuasaan dalam sistem pemerintahan.
Ketiga, wakil presiden, wakil gubernur, wakil bupati lebih baik dihilangkan agar sistem kekuasaan dalam pemerintah lebih tegas dan absolut.
Keempat, Jika ada posisi wakil presiden, wakil gubernur dan wakil bupati di tengah masa jabatan berhalangan tetap atau kosong maka sewajarnya tetap dikosongkan agar lebih efektif dan efisien dalam pemerintahan.
Kelima, fungsi dan peran para wakil presiden, wakil gubernur, wakil bupati hanya menjadi penghambat keputusan dalam pemerintahan dan mereka cenderung menjadi oposisi dari dalam kekuasaan.
Kelima hipotesa politik ini sering muncul dalam pembahasan masyarakat bahkan juga berkembang dalam perbincangan kalangan politisi, birokrasi dan akademisi meski tidak secara vulgar terangkat dalam materi diskusi publik.
Hipotesa politik ini untuk memudahkan menjawab, apakah peran para wakil kepala pemerintah itu dibutuhkan atau sebatas formalitas dalam sistem pemerintahan, atau lebih sering disebut ban serap, cadangan dan banyak istilah lain yang menyudutkan jabatan wakil kepala pemerintahan dimaksud.