Mohon tunggu...
Tarmidinsyah Abubakar
Tarmidinsyah Abubakar Mohon Tunggu... Politisi - Pemerhati Politik dan Sosial Berdomisili di Aceh
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Penulis adalah Pemerhati Politik dan Sosial Berdomisili di Aceh

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Pemimpin Bodong, Kepemimpinan Tanpa Kader Pemimpin

3 Januari 2021   11:15 Diperbarui: 3 Januari 2021   17:33 816
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber: dreamstime.com

Oleh: Tarmidinsyah Abubakar

Sejak usia belia dalam pendidikan dasar kita mengawali pengenalan atau mencicipi dasar-dasar kepemimpinan, dengan pengetahuan nama-nama pahlawan, nama-nama raja, nama-nama presiden, nama-nama pemimpin pemimpin dalam perjuangan bangsa, agama bahkan hingga pemimpin pemberontakan.

Pada masa lalu pemimpin masyarakat itu berbasis kerajaan, sehingga kekaderan kepemimpinan pun terjadi dalam lingkungan keluarga kerajaan yang secara turun-temurun. Ada kelebihan pengkaderan intensif dalam keluarga, kader pemimpin dapat terdidik sejak mereka dilahirkan oleh ibunya baik permaisuri maupun selir.

Sistem kepemimpinan kerajaan menegaskan bahwa pemimpin dilahirkan dalam sebagai titisan raja yang sedang berkuasa, sementara dalam perkembangan pendidikan dan pengetahuan dan peradaban manusia sistem ini dianggap tidak lazim karena kemutlakan dalam kekuasaan yang cenderung melahirkan kesewenangan.

Meskipun beberapa negara di dunia masih menganutnya secara rapi, sebagaimana Maroko, Thailand, Japan, Malaysia, Arab Saudi bahkan Inggris dan beberapa negara lainnya yang kemapanan sistemnya belum mengalami revolusi sosial. Beru-baru ini Thailand mulai terlihat ada gejolak sosial dalam mengusik kemapanan kerajaan, dan itu menjadi tanda-tanda equilibrium politik antara kuasa raja dan kepintaran rakyat.

Setelah pendidikan masyarakat berkembang dan pengetahuan serta wawasan meningkat secara menyeluruh manusia memahami kesetaraan dan mentalitasnya mulai terdidik sebagai pemimpin bukan lagi sebagai pengikut semata yang kemudian menjadi status sosialnya hingga ke anak-pinak sebagaimana kepemimpinan masa lalu dengan kerajaan yang jahil. Bahkan sampai melahirkan status sosial manusia dengan sebutan budak yang tidak ubahnya seperti binatang yang diperjual belikan.

Sistem kerajaan dibumi akhirnya menjadi seimbang dengan lahirnya sistem demokrasi yang merupakan antitesis dari sistem kepemimpinan dimasa lalu. Sistem demokrasi menyembunyikan kekuasaan dalam suatu ruh yang filternya berorientasi pada kualitas kepemimpinan menurut dominasi masyarakatnya. 

Misalnya di negara kita yang budaya demokrasinya tergolong baru maka pemimpin masih dilihat sebagai setengah dari raja atau seseorang yang dipercaya bisa membantu hidup warganya dalam materialistik. Kini sudah mulai berubah kepada seseorang "tuan yang adil" yang juga masih berorientasi pada kepentingan dirinya (individu warga). Hal ini disebabkan karena kondisi sosial yang dominan dalam tahapan pemenuhan kebutuhan primer dalam tahapan hidup. Teori ini pernah dikembang oleh seorang tokoh, pakar dan pemikir "Maslow" dengan teori dalam ilmu ekonomi.

Sistem demokrasi juga merubah makna dari terminology "pemimpin dilahirkan" dari kandungan seorang ibu (permaisuri atau selir) kepada kandungan ibu yang bermakna kualitas rata-rata (averaging) pemikiran rakyat secara dominan.

Berikutnya diikuti perubahan terminology "pengkaderan" sebagai titisan (air maninya raja) atau ovumnya anak raja yang menjadi raja (perempuan). Berubah kepada titisan pandangan dan pemikiran seseorang yang sedang memimpin yang mempersiapkan penerusnya melalui pandangan pemikiran rata-rata rakyat di daerah atau negara. Biasanya dalam sistem demokrasi, kader itu akan muncul dengan sendirinya karena pemikiran dan referensi aktivitas, sikap dan latar belakangnya.

Pada kualitas demokrasi yang baik dan terarah, koneksi pengkaderan dipertemukan dengan pemikiran untuk konsep pembangunan rakyat karena kapasitas dan kualitas sumber daya manusianya dianggap memenuhi syarat untuk menanggung beban besar dalam memimpin rakyat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun