Negeri kita adalah negeri yang kaya-raya, berlimpah ruah dengan rempah-rempah. Sejarah menunjukkan bahwa sejak ratusan tahun yang lalu bangsa-bangsa asing mengarungi samudera demi mencicip sensasi rempah yang dihasilkan oleh tanah Nusantara.
Namun kejayaan itu kini mungkin hanya akan jadi kenangan dan nostalgia semata. Harga rempah-rempah seperti pala, lada, cengkeh, kayu manis, dan lain sebagainya seperti tidak berharga di masa jayanya. Kelesuan harga rempah itu bisa membuat petani tidak lagi bersemangat menanamnya, atau bahkan mungkin mengalihkan komoditas di lahannya. Bila itu terjadi, maka kejayaan negeri rempah hanya akan jadi sejarah.
HPP ini dipercaya bisa mencegah petani rempah mengkonversi lahannya ke komoditas lain. Maka ada baiknya pemerintah menetapkan HPP rempah-rempah semisal lada, kayu manis dan pala. Skema HPP itu bisa diatur dengan pola penyaluran subsidi di saat harga turun di bawah HPP. Sehingga petani tidak lantas mengonversi lahan ketika komoditasnya jatuh harga.Â
Beberapa negara lain sudah menerapkan skema HPP itu untuk komoditas unggulannya. Misalnya Vietnam dan Thailand yang berani melakukan hal itu untuk komoditas perkebunan unggulan seperti karet. Di mana ketika harga anjlok pemerintah melakukan penetrasi supaya harga terkerek naik.
Indonesia pun berpotensi melakukan hal serupa bila kebijakannya mendukung. Apalagi, rempah telah menjadi komoditas unggulan sejak abad 17 sebelum kelapa sawit dan karet menjadi primadona devisa.
Selama ini, upaya Kementerian Pertanian (Kementan) menjaga reputasi kita sebagai negeri penghasil rempah masih terbilang konvensional. Campur tangan pemerintah baru sebatas bantuan dalam hal perbenihan, pendampingan petani agar kualitas produksi meningkat. Langkah itu tidak jelek, karena bisa mutu produksi rempah dan komoditas perkebunan kita diakui sebagai yang terbaik di dunia internasional. Tapi akan lebih baik bila mekanisme harga juga ikut dijaga. Sehingga produk berkualitas akan semakin disempurnakan dengan semangat petani berproduksi.