Mohon tunggu...
Taofik Hidayat
Taofik Hidayat Mohon Tunggu... Karyawan Swasta -
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Korupsi Pertanian Mulai Diendus Kuningan

30 Oktober 2018   23:27 Diperbarui: 31 Oktober 2018   01:42 413
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pemerintahan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Tikus bukan saja jadi hama di sawah petani. Hewan pengerat itu juga muncul dalam bentuk korupsi yang menggerogoti sektor pertanian.

Saat ini, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sudah mulai pasang radar, mengendus berbagai dugaan dan potensi korupsi di bidang pertanian. Kewaspadaan aparat penegak hukum yang berkantor di bilangan Kuningan, Jakarta Selatan itu dinyatakan dengan tegas oleh salah satu komisionernya beberapa hari lalu. (Sumber: viva.co.id).

Korupsi pertanian menjadi salah satu agenda utama KPK karena itu menyangkut ketahanan pangan yang adalah hajat hidup orang banyak.

Diungkapkan bahwa radar KPK di sektor pangan sudah mulai menyala sejak kasus beras impor beras Vietnam di tahun 2014 lalu.

Meski belum bisa dibuktikan dari sisi penindakan, ihwal impor beras ini memperkuat adanya persoalan dalam tata niaga beras. Secara langsung atau tidak, pasti ada kaitannya dengan data stok beras nasional yang sempat jadi polemik beberapa waktu belakangan ini.

Masalah stok beras nasional itu baru selesai ketika Badan Pusat Statistik (BPS) mengoreksi data Kementerian Pertanian yang terlalu melebihi kenyataan dan salah. Contohnya adalah luasan sawah versi Kementan yang mencapai 7,75 juta hektar. Padahal kenyataannya, menurut BPS luasnya hanya 7,1 juta hektar.

Termasuk potensi luas panen 2018, dimana versi Kementan adalah 15,5 juta hektare. Sedangkan versi BPS hanya 10,9 juta hektare.

Perbedaan angka-angka ini tidak bisa kita sikapi secara polos-polos saja. kita harus ingat bahwa persoalan beras, pangan, sandang, dan papan kerap jadi pintu masuk terjadinya konflik kepentingan sejumlah pihak. Karena kebutuhan primer itu menyangkut jumlah permintaan penduduk Indonesia yang mencapai ratusan juta jiwa. Dengan jumlah permintaan yang besar, itu adalah ladang basah bagi para pemburu rente yang berupaya mencari keuntungan. 

Oleh karena itu, perbedaan data pangan tidak bisa diselesaikan lewat mediasi angka. Tapi juga melibatkan unsur penegakan hukum juga. 

Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun