Mohon tunggu...
piye tho
piye tho Mohon Tunggu... -

just an amateur...

Selanjutnya

Tutup

Politik

Mengapa Taksi Konvensional Lebih Mahal?

23 Maret 2016   10:59 Diperbarui: 23 Maret 2016   11:29 15
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Apa perbedaan mendasar antara taxi online dan taxi konvensional ?

Yang satu adalah operator, yang lain adalah mediator. Yang satu harus punya struktur yang artinya biaya, yang satu lagi justru tidak ada struktur alias minim biaya. Yang satu adalah perusahaan nasional yang mengurus padat karya dan padat modal, yang lain adalah PMA online modal "network". 

Secara filosofi, memang mereka berbeda.

Lalu mengapa yang konvensional terlalu lamban untuk berubah. Yah tentu karena mereka memang tambun dan terbiasa cara lama..tapi juga adanya aturan2 yang dibuat memang untuk membatasi mereka selama ini. Mengapa dibatasi...? Lha kan katanya mau diatur, bukan kapitalis murni.

Jadi kegamangan itu, adalah kegamangan kita semua..bukan sekedar mereka. Dan ini hanyalah salah satu kegamangan dari kegamangan yang lain dalam menyikapi pergerakan dinamika dunia terutama dalam dinamika persaingan global baik ekonomi ataupun politik. Ketidaksiapan yang menyebabkan selalu saja kita terlambat mengambil yang baik..alias "untungnya" diambil orang lain duluan.

Singapore misalnya, dalam pasar bebar - memang jadi harus membolehkan pekerja dari negara lain. Tapi mereka mensiasatinya dgn  syarat2nya ketat. Gaji waiter di Singapore , dengan mudah sudah pasti lebih dari 7 juta rupiah (padahal tdk ada aturan UMR) - di Indonesia malah di bawah UMR. Kalau saja aturan dibuat mudah, waiter2 kita sudah banjir di sana - jangan salah, orang kita malah lebih rajin koq dari mereka. Tapi dengan adanya aturan macam2...mereka berhasil menjaga supply demand sekaligus maintain gaji yang cukup untuk rakyatnya. Bahkan ada aturan, untuk perusahaan Indonesia di singapore, ada quota maksimumnya, berapa orang Indonesia yang dikasih izin kerja di sana. Lainnya harus orang singapore. (kalau gak salah, palingan 10%).

Jepang, pasar yang menggiurkan, pasar global mengharuskan mereka menerima barang dari luar. Lha gimana mau tidak terima, wong mereka juga jualan banyak keluar negeri ? Tapi mereka punya standard produksi sendiri - barang yang tidak sesuai tidak boleh masuk dgn alasan standarisasi.

China, dengan keras kepala malah memblokir facebook. Mereka juga termasuk sangat lunak kepada industri mereka yang sering mencopy teknologi asing - jarang ada tuntutan mencuri hak cipta yang bisa dimenangkan oleh asing di tanah China. Malah kesannya, industri di perbolehkan untuk meniru barang orang lain - alhasil sehabis itu giliran mereka yang ekspor dgn barang mirip, harga jauh miring.

Amerika - konon si liberal , punya quota untuk berbagai macam barang , tidak bebas begitu saja bisa masuk begitu saja. Baik makanan, ataupun tekstil...dan banyak barang lain..ada quotanya..tidak sembarangan.

Saya tidak serta merta setuju proteksionisme, tapi bersikap naif soal ini , juga bukan solusi. Dunia memang membahas soal proteksionisme, tapi ternyata dinamikanya juga tidak mudah kan ? Di luar seberapa setuju atau tidak...terserah selera masing-masing..yang tetap harus adalah bersatu menyatukan kekuatan...bukannya malah mudah dipecah belah...mending kalau uangnya tidak kabur ke luar negeri.

Ribut taxi, sebuah fenomena gunung es. Lainnya adalah misalnya , pertanyaan apakah toko kecil/pasar tradisional akan disupport ketika melawan retail besar ? Apakah petani kita akan disupport ketika berada di dalam pasar komoditas yang begitu keras ?  Bagaimana membuat export maju lebih besar dari import ? Bagaimana dengan industri tekstil kita? Bagaimana dengan kemampuan teknologi dan IT kita ? Belum lagi migas..dan masih banyak lagi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun