Mohon tunggu...
Tantri Pranashinta
Tantri Pranashinta Mohon Tunggu... ibu rumah tangga -

Hanya orang biasa yang masih terus belajar menyelami kehidupan ...

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Kontemplasi Lewat Buku Tandi Skober

7 November 2012   15:05 Diperbarui: 24 Juni 2015   21:48 399
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13522981892053103809

[caption id="attachment_221965" align="aligncenter" width="640" caption="Dok.tantripranash"][/caption]

Marina adalah keturunan keenam dari Nairem-seorang santri Cirebon yang dihukum mati penjajah Belanda tahun 1818. Marina yang juga anak dari salah satu korban peristiwa Tanjung Priok 1984 ini, berusaha menyibakkan sejarah gelap yang menyelimuti keluarganya, yang sekaligus berarti pula akan menyibakkan sejarah kelam dalam peta sejarah bangsa ini.

Demi memuluskan niatnya, Marina menculik Tandi dan memaksa lelaki itu untuk menulis di harian ibukota tentang masalah-masalah yang dianggapnya masih abu-abu. Lewat novel berjudul ‘Namaku Nairem’ ini, Tandi Skober apik menyelipkan fakta sejarah di antara alur ceritanya. Akankah Marina berhasil dalam misinya? Adakah penghalang yang merasa gerah dengan keterusterangannya?

Banyak paragraf dalam novel ini menyayat-nyayat alam pikir, seperti peristiwa berdarah Tanjung Priok tahun 1984, saat-saat terakhir Kartosuwiryo, juga detik-detik eksekusi Bagus Serit dan Nairem- saat tembang pengantar roh mengiringi terlepasnya nyawa dari raga keduanya. Walau mereka berjuang dengan caranya sendiri-sendiri, namun Nairem, Kartosuwiryo, Kyai Priok adalah cerminan kegelisahan masyarakat yang terwakili pada jamannya. Sesungguhnya mereka mempertanyakan situasi ganjil lewat caranya masing-masing. Meskipun pada kenyataannya di berbagai jaman, pertanyaan dan kritik seringkali disikapi terburu-buru dengan cap pemberontak.

Bung Karno bilang bangsa yang besar adalah bangsa yang tidak melupakan sejarahnya. Padahal sejarah tidak selalu yang indah-indah saja, kerapkali kelam berdarah air mata. Bahkan faktanya seringkali sejarah menjadi bias, seperti Tandi Skober tuliskan dalam dialog antara Marina dengan seniornya, “Sebab sejarah selalu berada di ketiak penguasa. Sulit bergerak dan cuma bisa berbisik.”

‘Sperma Air Mata’ adalah kumpulan cerpen Tandi Skober yang terbit hampir berdekatan dengan ‘Namaku Nairem’. Banyak kisah menarik dalam kumpulan cerpen ini, semisal masalah korupsi, suksesi, atau bahkan tentang Papua. ‘Air Mata Papua’ dan ‘Paitua Pejabat Jawakah?’ adalah cerpen apik tentang tanah di ujung timur nusantara itu.

Soal korupsi -simak sindiran Tandi Skober pada lembaga-lembaga pemerintahan. Ia terpaksa melangkahkan kaki kirinya terlebih dulu sebelum memasuki gedung-gedungnya, sambil membaca doa yang sama seperti ketika hendak masuk kamar kecil, ‘aku berlindung dari godaan setan perempuan dan setan wanita’.Hati nuranilah yang bisa mengendalikan nafsu, termasuk nafsu korupsi.Sebab sesungguhnya dalam diri manusia ada partikel yang tidak bisa dikorupsi oleh apa dan siapapun juga. Partikel steril itu ada di dada kiri manusia (hal.67). Bila hati nurani tak lagi didengar maka nafsu merajalela seperti merajalelanya setan-setan di gedung mengkilap.

Soal suksesi - ketika salah satu calon pemimpin harapan banyak orang ternyata kalah suara, ditanggapi Tandi Skober secara arif, kamu sudah keluar dari kamar gelap itu. Itu agar kamu menjadi partikel steril yang tidak bisa dimanipulasi kamar gelap politik (hal.15).

Bank Century juga disindirnya secara jenaka, Google kok jadi ngaco, setiap searching Bank Ciantury, loh yang muncul malah Bang Sianturi. Ini kagak nyambung atau jangan-jangan ada tangan tersembunyi yang menutup semua pintu jalan masuk ke Bank Ciantury (hal. 161).

Seperti pada ‘Namaku Nairem’, dalam kumpulan cerita ‘Sperma Air Mata’ masih terbaca keprihatinan mendalam seorang Tandi pada situasi bangsa ini. Ia menuliskannya secara satire. Kata-katanya lincah padat. Mirip penari yang menggoyangkan tubuhnya lincah ke kiri ke kanan ke depan ke belakang, Tandi Skober menari bersama luncuran derasnya kata-kata. Kadang luwes kemayu, kadang mengharu biru, kadang jenaka, kadang menghentak-hentak. Pembaca dibuatnya tersenyum, meringis, terpana, melongo, menangis, bahkan terengah-engah kehabisan nafas, sampai kemudian tiba di suatu jeda yang mendorong diri berkontemplasi.

Sebuah karya sastra selain menjadi gambaran realita masyarakat sesungguhnya juga merupakan refleksi kembara jiwa penulisnya. Kedua buku Tandi Skober ini selain dapat dinikmati secara soliter, dapat pula membawa pembacanya ke alam pikir tempat berkontemplasi secara bebas, inilah yang diistilahkan Tandi Skober menuju ruang-ruang sunyi yang steril.

Walau mungkin cuma sebatas kontemplasi kamar, namun ada pemahaman baru atau paling tidak pembaca dapat memandang sesuatu dari sudut pandang yang selama ini terlewatkan. Itulah gunanya ada jeda, layaknya spasi pada deret kalimat. Seperti kata Tandi Skober, tanpa spasi tentu deret kalimat menjadi sulit dicerna. Tanpa Jeda hidup berjalan tergesa tanpa sempat menoleh. Buku ini bisa menjadi semacam jeda.

***

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun