Mohon tunggu...
Tamita Wibisono
Tamita Wibisono Mohon Tunggu... Freelancer - Creativepreuner

Perangkai Kata, Penikmat Citarasa Kuliner dan Pejalan Semesta. Pecinta Budaya melalui bincang hangat, senyum sapa ramah dan jabat erat antar sesama

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Perjalanan Penuh Kasih Bersama Nek Iyem

18 Oktober 2015   23:52 Diperbarui: 19 Oktober 2015   07:54 224
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

 

[caption caption="dok,pri Nek Inem Sesampainya di Kawasan Kuliner Petojo"][/caption]Sungguh tiap Kebaikan itu hanya Tuhan yang melekatkan bersama dengan kekuatan kasih pada sesama. Semoga apa yang saya tulis bukanlah untuk memamerkan bentuk bantuan dan pertolongan yang sudah diberikan yang tidaklah memiliki nilai apa-apa. Harapan dari apa yang saya tuliskan ini hanyalah luapan rasa seorang anak atas Sosok Ibu  bahkan nenek kita yang mungkin sudah tiada. Saya merasa tulisan ini menjadi penggugah nurani agar kita bisa menjaga arti hadirnya mereka. Meski saya sendiri mengakui bahwa hingga saat ini saya belum mampu menjadi anak yang berbakti kepada orang tua, belum mampu memberi kebanggaan apapun, terlebih berbagi dalam hal materi. Dulu sesaat saya sempat menjadi kebanggan keluarga, namun roda kehidupan kemudian menjadikan saya berjarak dengan mereka. Apapun Adanya, semoga Tuhan memberi saya kesempatan dan kemampuan untuk membahagiakan orang tua. Merawat mereka dan bahkan memberi kebanggaan bagi mereka untuk yang kesekian kali.

Tuhan memang maha menentukan segala yang terjadi menyangkut apa yang harus di jalani oleh tiap mahkluk di bumi ini. Seperti halnya saya yang seharusnya bisa lebih pagi berangkat ke Surabaya. Nyaris tidak pernah saya naik bis Jaya Jurusan Surabaya. Biasanya saya naik bus Restu, karena memang trayeknya melewati jalan pintas propinsi yang melintas tak jauh dari tempat tinggal kami di Kota Madiun. Lagi-lagi bukan tidak kebetulan, Bis Jaya melintas lebih dahulu. Tidak ingin berlama-lama menungu di tepi jalan, saya pun naik begitu saja. Mungkin jika saya tidak naik bis tersebut, saya pun tidak akan memiliki kisah perjalanan yang mengharukan ini. Saya rekam betul tiap sisi yang terjadi. Saya berulang-kali membawa suasana kebatinan itu untuk kembali hadir menggenapkan nurani dan binar hati saya sebagai perempuan, termasuk ketika saya menuliskan ini.

Awalnya saya menempati tempat duduk deret dua kursi. Disebelah saya tampak bapak berusia lanjut terlihat tidur. Merasa kurang nyaman dengan tempat duduk yang recleaning seatnya rusak, saya pun akhirnya memutuskan pindah ke tempat duduk deret 3 disamping kanan tempat duduk saya yang semula. Hanya seorang Ibu usia lanjut lebih tepatnya seorang nenek yang duduk sendirian.

Tak lama duduk disebelahnya, Sang nenek bertanya dalam bahasa jawa sudah sampai mana?. Saya pun menjawab sopan

"Nembe dugi Caruban mbah, (baru sampe Caruban : Ibu Kota Kabupaten Madiun). Kencang bis melaju berkejaran. Memasuki perbatasan  Kota berikutnya Nenek kembali bertanya :

"iki wes tekan ndi?"( ini sudah sampai mana?)

Nganjuk mbah, jawabku.

dan hampir 10 menit kemudian si Nenek selalu menanyakan hal yang sama. Merasa kurang nyaman dengan terus menerus di tanya saya  pun sedikit tersungut dengan balik bertanya kepada sang nenek

"lha simbah ini sakjane bade tindak pundi, mandap teng pundi mangke? (nenek ini sebenarnya mau pergi kemana, turun dimana nanti)?

"Surabaya" Jawab si Nenek singkat sambil memperlihatkan wajah sedih

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun