Mohon tunggu...
Tamita Wibisono
Tamita Wibisono Mohon Tunggu... Freelancer - Creativepreuner

Perangkai Kata, Penikmat Citarasa Kuliner dan Pejalan Semesta. Pecinta Budaya melalui bincang hangat, senyum sapa ramah dan jabat erat antar sesama

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Menghela Nafas Toleransi, Sebuah Cerita dari Jogjakarta (Tamat)

19 Februari 2017   07:32 Diperbarui: 19 Februari 2017   10:37 843
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bertemu tokoh kenamaan tanpa ada janji terlebih dahulu memanglah tidak semudah membalik telapak tangan. Demi merajut asa terciptanya literasi toleransi saya pun menjabani. Menyerap informasi tentang keberadaan Buya Syafii Maarif, salah satu figur perajut jalinan toleransi. Pagi penuh semangat di kota Gudeg. Meski alamat kediaman Sang Buya telah saya kantongi, namun saya tetap mencari alternatif alamat lain yang sekiranya lebih dekat dijangkau. 

Nihil , pencarian saya di seputaran taman makam pahlawan Kusumanegara kota Jogja pagi itu. Asumsi awal yang sedikit menguatkan saya adalah lokasi tersebut dekat dengan kawasan pendidikan Muhammadiyah, sebut saja Universitas Ahmad Dahlan. Beruntung sedari awal saya telah mengantisipasi dengan membawa kendaraan roda dua yang tentunya sangat mentolerir kondisi. Naluri saya membawa langkah kaki kembali ke Gedung Pengurus Pusat Muhammadiyah.

Beruntung, menjelang siang. Di gedung yang tampak geliat aktifitasnya itu saya mendapat titik terang. Seorang bapak yang tidak mau disebut nama memberikan saya petunjuk. Tentunya setelah diawali dengan memberitahukan maksud ingin bertemu Buya Syafii Maarif. Alamat yang sudah saya kantongi mendapat petunjuk lengkap. Masjid amal bakti Pancasila menjadi ancer-ancer yang disebut bahwa dari situlah kami bisa mendapati informasi keberadaan Buya.

"untuk memastikan ada tidaknya Buya, bisa tanya sama orang masjid, kalo sudah masuk waktu shalat begini, biasanya kalau Buya shalat jamaah, berarti ada dirumah" begitu petunjuk yang menambah semangat.

 Matahari sedikit tertutup mendung siang itu. Waktu sudah menunjukkan waktu shalat dzuhur untuk wilayah Jogya dan sekitarnya. Saya yang kebetulan ditemani rekan dari Purwokerto yang sedang berada di Jogya, memacu roda dua ke sisi barat Kota Jogya. Sebuah perumahan yang berada di tengah perkampungan kami masuki. Lingkungan yang asri pun kami jumpai. Setelah bertanya lokasi persis pada beberapa warga akhirnya  keberadaan masjid sebagai petunjuk kunci dapat kami jumpai.

dok.pri Masjid Amal bakti Muslim Pancasila menjadi petunjuk awal
dok.pri Masjid Amal bakti Muslim Pancasila menjadi petunjuk awal
Sepi, karena memang telah lewat waktu shalat manakala kami diperjalanan tadi. Beruntung, dalam kewajiban menjalankan perintah Agama, Islam dalam hal ini. Allah , Tuhan seru sekalian alampun memberikan cukup toleransi waktu. Jam menunjuk sekitar pukul 12.45 kala kami memutuskan untuk singgah ke masjid yang banyak dibangun era Presiden Soeharto itu. Ya, masih ada toleransi waktu untuk melaksanakan kewajiban kepadaNya saat waktu dhuzur belum berlalu.

Terlihat dua orang bapak tengah berbincang di serambi samping masjid. Dalam masjid seorang laki-laki tengah melaksanakan shalat tanpa berjamaah. Sayangnya, begitu kami selesai shalat. Orang yang tadinya kami fikir bisa memberi sedikit informasi itu semuanya telah pergi dari masjid. Kami mencoba mencari keberadaan takmir masjid. Kami mengitari tiap sudut masjid. Sebuah Kalender terpasang di dinding samping kiri bagian luar masjid. Kalender yang cukup menarik. Semua berisi petikan kata-kata tokoh agama tentang Toleransi. Serasa mendapat angin segar saja. Mungkin, ini bagian dari petunjuk merangkai semangat toleransi itu.

Dibelakang masjid tampak sedang ada pemeliharaan kanopi.Tak lama, muncul 2 laki-laki yang rupanya merupakan pekerja yang sedang mengerjakan pemeliharaan. Ketika kami meminta informasi, dengan sangat menyesal kedua orang tersebut tidak bisa menjawab. Mereka bukan warga kompleks ini begitu alasannya. Selang beberapa waktu, muncul bapak berkendara sepeda motor yang paham rumah Buya. Kami pun lega. Diantar hingga persis ke depan pintu. Lebih tepatnya pintu garasi yang berada di samping rumah.

Tanpa menunggu lama, Bapak pengantar tersebut pamit meninggalkan kami  dengan memberitahukan posisi bel pintu rumah. Bel saya pencet sekali. Dalam hitungan detik, suara dari dalam kami dengar bertanya

"siapa?"

Diawali dengan salam, sebisa mungkin saya menjawab dengan sopan. Meski  pemilik suara belum membuka pintu

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun