"Balonku ada lima, Â Rupa-rupa warnanya
Hijau Kuning Kelabu, Merah muda dan Biru
Meletus balon hijau dorrr! Hatiku sangat kacau
Balonku tinggal empat, Kupegang erat-erat"
Siapa yang tidak kenal lagu lagu ciptaan AT Mahmud yang kerap dinyanyikan ketika masih berusia kanak-kanak yang berjudul balonku ada lima?. Sepintas lagu ini sederhana. Namun ada siratan makna mendalam yang kelak dikemudian hari akan turut memberi sentuhan, sejauh mana kita mengenal dan menghargai sebuah perbedaan warna yang ada dalam kehidupan manusia. Kita tentu tidak ingin menjadi buta warna. Menganggap semua beda seolah dalam bayang-bayang yang sama. Ya, sepele namun penting. Oleh karena itu sungguh wajib kita menyadari bahwa ada sekian banyak warna yang berbeda yang justru akan menambah kaya pandangan mata. Bahkan ketika satu warna saja yang meletus, maka sontak, menjadi letupan yang membuat hati kacau. Tidak heran jika kemudian perbedaan warna yang tersisa haruslah dipegang dan dijaga dengan sangat eratnya dalam satu ikatan.
Menuliskan sesuatu yang mengandung muatan toleransi disaat-saat ini tidak semudah menyanyian lagu balonku ada lima tadi. Salah-salah, berdasarkan pengalaman saya beberapa waktu lalu, berimbas pada putusnya pertemanan meski hanya di dinding media sosial. Beruntung, saya mendapat kesempatan untuk menjalankan sebuah misi yang disematkan oleh orang-orang yang membidani lahirkan buku-buku kolaborasi para Kompasianer melalui komunitas Kutu Buku. Peniti Media tentu.
Melalui bilik messanger, komunikasi itu mengarahkan saya untuk sebuah penugasan di  kota Jogjakarta. Konon kota yang sarat budaya ini telah lama digadang-gadang sebagai "the city of Tolerance". Ke Jogja dengan sangat senang hati teramat mudah. Menjalankan tugas menemui tokoh yang pada tahun 2010 menjadi salah satu penerima Habibie Award bidang harmonisasi hehidupan beragama, lain lagi perkaranya. Menguatkan tekad dan sedikit nekad saya pun untuk yang kesekian kalinya ke Jogja.
Surat pengantar yang dikirim via emal beserta design cover depan tercetak sudah. Menjadi bekal legalitas saya bertemu tokoh itu. Rambu-rambu yang diberikan adalah berupa nama sebuah media dimana tokoh ini berada dalam sebuah rumah besar keagamaan. Suara Muhammadiyah, tercatat dalam sejarah sebagai sebuah majalah tertua di Indonesia yang terbit di tahun 1912-an. Media syiar itu bermarkas di KH. Ahmad Dahlan, yang menurut petunjuk awal letaknya tidak jauh dari Gramedia Jogja. itu berarti ada multi destinasi dalam perjalanan ke Jogya kali ini.
Singkat cerita, awal toleransi itu saya dapatkan dari ijin dan doa suami yang melepas saya berkendara roda dua ke Jogya. Sendirian pula. Demi sebuah misi toleransi, melintas lereng Lawu, membelah hutannya yang malu-malu disebut perawan belumlah apa-apa. Justru sejuknya hawa gunung yang kokoh menjulang di perbatasan Jawa Timur-Jawa Tengah ini menambah unsur harmonisasi alam yang selaras dengan nilai-nilai toleransi dalam kehidupan.
Sore itu, hujan menghadang saya disaat saya istirahat sejenak. Dan cerita mengemban tugas untuk meminta kesediaan memberikan "sekapur sirih" dari Buya Syafii Maarif, Sang pegiat toleransi dan kerjasama lintas agama itu pun sejenak memasuki jeda. Meski malamnya saya maksimalkan untuk menjalin komunikasi dengan rekan-rekan Jogya untuk mencari petunjuk agar bisa berjumpa dengan Buya.Â
Bersambung dulu ya..