Mohon tunggu...
Tamita Wibisono
Tamita Wibisono Mohon Tunggu... Freelancer - Creativepreuner

Perangkai Kata, Penikmat Citarasa Kuliner dan Pejalan Semesta. Pecinta Budaya melalui bincang hangat, senyum sapa ramah dan jabat erat antar sesama

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Indonesia dalam Petak Monopoli Internasional (2)

22 Januari 2016   21:39 Diperbarui: 22 Januari 2016   21:58 365
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Dok.pri : permainan monopoli Internasional"][/caption]

Kesan pertama akan permainan monopoli terasa begitu mendalam bagi saya. Seperti yang sudah saya uraikan pada tulisan sebelumnya. (jika belum membaca silahkan baca disini). Seiring berjalannya waktu, saya sedikit bersalah karena tidak menepati janji untuk datang lagi ke rumah gedong itu untuk bermain monopoli dengan anak perempuan semata wayang dari keluarga kaya. Semua itu akibat saya dilarang bermain jauh dari rumah. 

Beberapa tahun kemudian, secara tak sengaja saya diajak Ibu berbelanja di salah satu sentra perdagangan yang ada Kabupaten Tegal, tepatnya di Banjaran yang terletak sebelum masuk kota Slawi. Seperti biasa selalu merajuk minta mampir ke toko mainan yang terletak disamping toko emas langganan Ibu. Dan disitulah kembali saya menemukan permainan yang selalu ada dalam pikiran saya sejak pertama memainkan monopoli bersama Shinta.

Tangan saya menunjuk permainan monopoli yang berada di dalam etalase kaca. Saat itu seingatku Ibu hanya bertanya Apa Itu?. Jawabku yakin " Monopoli"

Beruntung memiliki Ibu yang sedari kecil begitu memanjakanku dengan membelikan aneka mainan yang aku mau. Dalam waktu singkat Monopoli pun sudah masuk dalam kantong plastik yang sesaat kemudian aku dekap dengan kedua tanganku.

Tak sabar rasanya lekas sampai dirumah. Dalam hati saya betapa ingin mengajak teman-teman saya di lingkungan yang masih terbilang kampung itu untuk bermain monopoli. Bahkan saya berencana mengajak bapak dan Ibu bermain monopoli saat mereka tidak sibuk. Rasanya saya akan segera melupakan tumpukan dluwang permen yang selama ini disimpan dalam dompet-dompet sebagai uang-uang-an. Sudah ada uang kertas yang mirip aslinya dalam kotak monopoli yang baru saja dibeli.

Benar saja, sesampainya dirumah saya dapati beberapa gerombol anak-anak sebaya yang waktu itu kisaran berumurnya sekitar 8-10 tahun. Pada waktu itu jika tidak salah saya duduk di kelas 4 SD. Sudah lancar membaca dan menghitung. Sehingga bermain monopoli buat saya ibarat tengah belajar sesuatu hal diluar mata pelajaran sekolah.

Dengan bahasa dan dialek ngapak-ngapak ala Tegal, saya pun langsung mengajak anak-anak di kampung kami bermain monopoli. Melihat permainan baru yang jarang mereka lihat sebelumnya, lagi-lagi saya pun harus menerangkan cara bermain. Seperti dulu saat Shinta, menerangkan pada saya tentang bagaimana cara bermain monopoli. Bedanya jika Shinta menerangkan dengan bahasa Indonesia sesekali bercampur bahasa Tegal. Kali itu saya menerangkan dengan bahasa Tegal penuh.

Monopoli membuat saya menjadi pusat perhatian. Semua melongo melihat permainan baru dan mendengarkan perjelasan yang saya berikan waktu itu

"Kaya kuwe carane maene, ngerti belih?(1)" Aku bertanya pada semua yang mengelilingiku. Hal itu untuk memastikan apakah semua yang aku jelaskan sudah dimengerti oleh mereka.

"aku melu-aku melu" ribut suara mereka, langsung semua ingin ikut bermain 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun