Mohon tunggu...
Tamita Wibisono
Tamita Wibisono Mohon Tunggu... Freelancer - Creativepreuner

Perangkai Kata, Penikmat Citarasa Kuliner dan Pejalan Semesta. Pecinta Budaya melalui bincang hangat, senyum sapa ramah dan jabat erat antar sesama

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Wasini dan Geliat Angkringan Yogya yang Menghidupi

21 November 2020   23:44 Diperbarui: 22 November 2020   00:26 248
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dok pri Mbak Wasini tengah menunggu Angkringannya

Singkat kata, harapan mbak Was terkait usaha angkringan saya tuangkan dalam konsep proposal. Tidak resmi, hanya ditujukan pada perorangan. Bersyukur , beberapa orang berkenan memberi support dalam hitungan ratusan ribu. Terkumpul sesuai dengan anggaran yang dibutuhkan. 

Angkringan waktu itu memang menjadi primadona usaha. Hampir di setiap ruas jalan di Yogya terdapat gerobak kayu dengan tutup terpal yang menyajikan menu khasnya yang disebut sego/nasi kucing. Aneka lauk tambahan seperti sate telur puyuh, sate usus sate ati ampela, aneka gorengan, bacem tempe tahu, hingga ceker dan kepala ayam yang dibumbui pun dijual sebagai alternatif tambahan lauk. 

Angkringan sendiri berasal dari Klaten.Banyak dijumpai di wilayah karasiden Solo hingga Semarang- Magelang dan sekitarnya. Kerap disebut dengan istilah wedangan HIK. Selain menyajikan nasi kucing, minuman jahe, kopi jahe hingga teh jahe pun menjadi minuman pilihan.

Angkringan menjadi tempat yang banyak dijujug oleh mereka para pekerja pinggiran. Sebut saja tukang becak, tukang ojek pangkalan, hingga pekerja serabutan lainnya. 

Belakangan Angkringan menjadi alternatif bagi para mahasiswa dan pelancong yang ingin menikmati santap makan dengan suasana yang berbeda. Begitulah, angkringan banyak dikenal hingga tumbuh subur dan menyebar ke beberapa kota besar lainnya.

Berkembangnya usaha angkringan, menjadikan sistem baru dikalangan pedagang angkringan. Tak jarang mereka hanya menjadi "pedagang -buruh". Kenapa saya sebut demikian? Karena tak jarang para pedagang angkringan hanya bermodal tenaga, sementara gerobak beserta "ubo rampainya"pun  dengan aneka pangannya sudah ada yang memasok. Mereka hanya melakukan setoran dari perolehan hasil jualan.

Berbeda dengan mbak Was yang ingin benar-benar membuka usaha angkringan. Singkat kata modal yang diperoleh melalui penggalangan kecil itu pun sepenuhnya saya serah terimakan langsung kepada mbak Was. 

Denagan dibantu oleh suaminya , mbak Was menyiapkan kebutuhan. Awal membuka angkringan. Gerobak bekas yang diperbaiki sendiri oleh pak Jentu selaku suami, menjadi Etalase angkringan tanpa nama di Kawasan Janti. Tepatnya di sebuah pertigaan tak jauh dari hotel paku mas Jogya.

Dok.pri kediaman mbak Was di Jogja
Dok.pri kediaman mbak Was di Jogja
Tidak terasa 10 tahun sudah mbak Was berdikari dengan angkringannya. Sang anak sudah tamat SMK dan sempat bekerja di Malaysia. Berkah angkringan begitu nyata. Saat dulu mbak Was mengayuh sepeda yang terkesan renta. Kini mbak Was sudah memiliki kendaraan roda dua yang memudahkan ia menyiapkan keperluan Angkringannya.

Jika Angkringan ramai, mbak Was mampu memperoleh penghasilan sebesar Rp 100.000 hingga 150.000. namun jika sepi penghasilannya hanya berkisar Rp.70.000 - Rp 80.000 saja. Itu sudah termasuk bisa memenuhi kebutuhan makan keluarganya.

Ya, berdasarkan penuturan mbak Was, usaha angkringan jauh lebih membuatnya nyaman secara waktu, tenaga dan penghasilan. Sungguh hal itu bisa saya lihat dalam tiap tahapan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun