Mohon tunggu...
Tamita Wibisono
Tamita Wibisono Mohon Tunggu... Freelancer - Creativepreuner

Perangkai Kata, Penikmat Citarasa Kuliner dan Pejalan Semesta. Pecinta Budaya melalui bincang hangat, senyum sapa ramah dan jabat erat antar sesama

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Omnibus Law di Antara Prioritas Prolegnas atau Solusi Peraturan Lintas Batas?

13 Agustus 2020   23:00 Diperbarui: 13 Agustus 2020   23:01 361
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber: Indonesiabaik.com

Pasang surut perkembangan pembahasan Omnibus law yang menyederhanakan 74 Undang-undang dan atau peraturan yang terkait cukup menyita energi para stakeholder terkait di tengah Pendemi. 

Ancaman resesi global yang turut menghantui sedikit banyak berimbas pada pelaku ekonomi makro hingga mikro. PHK karyawan swasta memunculkan pergolakan ekonomi dan sosial. 

Meski di beberapa sektor ekonomi mikro tetap mampu bertahan dalam geliat yang siginifikan. Sebut saja Usaha mikro kecil menengah atau yang kerap disebut UMKM.

Panjangnya mata rantai birokrasi meski konon sudah dipangkas, serta beberapa iklim daya saing investasi yang belum seatraktif beberapa negara sahabat khususnya di regional wilayah Asia pun menjadi pemecut bagi lekas selesainya penyederhanaan aturan investasi yang dinilai akan mendukung pertumbuhan ekonomi nasional. 

Terlebih di tengah pendemi yang meski pemerintah telah mengupayakan kebijakan sosial sebagai lapis sosial bagi yang terdampak secara ekonomi, hal itu belumlah 100% menjadi solusi.

Jelas omnibus law bukanlah output dari proses legislasi yang bisa diproses secara asal-asalan apalagi setengah-setengah. Penelusuran terhadap tumpang tindih aturan, irisan undang-undang yang jumlahnya hampir 100 itu tentu memakan waktu. 

Omnibus law bukan semata produk hukum politik sebatas dibahas oleh anggota DPR saja. Naskah akademik yang ada tidak saja menjadi ruang wacana bagi ahli hukum lintas bidang, tak hanya perdata, pidana, tata negara, pelaku usaha, akademisi hingga pemerintah itu sendiri. 

Desakan pro-kontra bukanlah solusi akhir lahirnya omnibus law. Hal yang diharapkan adalah Omnibus law mampu memberi dampak signifikan bagi petumbuhan ekonomi nasional yang berlalu lintas sektoral. Bukan semata pada pekerja formal di sektor swasta atau manufakturing semata.

Dua sektor yang menjadi ujung tombak pertumbuhan ekonomi nasional saat ini adalah masalah lapangan kerja dan pemberdayaan usaha mikro kecil menengah (UMKM). 

Sayangnya Dua ujung tombak tersebut seolah berada pada dua kutub yang berbeda. Para pekerja sektor formal yang selama pendemi terkena imbas hingga banyak pekerja dirumahkan merasa omnibus law menjadi bumerang. 

Bak tabuhan genderang perang, ancaman demonstrasi besar-besaran pun sempat menghantui. Para pekerja formal tersebut melihat aturan dalam RUU Cipta lapangan kerja justru menjadi akses masuk bagi pekerja asing. Bayang-bayang akan kehilangan lahan pekerjaan pun menjadikan cara pandang terhadap omnibus law sebagai ancaman dan harus ditolak mentah-mentah.

sumber infografik Antara.com
sumber infografik Antara.com
Benarkah hanya terkait dengan pekerja asing saja yang menjadi satu-satunya alasan di balik penolakan pekerja formal dalam hal ini buruh? 

Ternyata tidak. Kompas.com merangkum alasan buruh (KPSI) menolak Omnibus Law yakni Hilangkan Upah minimum yang ada di UU no 13/ 2003 tentang ketenagakerjaan; hilangnya pesangon, Outsourcing yang dimaksimalkan dengan penggunaan tenaga kontrak tanpa batas, eksploitasi jam kerja, penggunaan tenaga asing tanpa skill, hilangnya jaminan sosial berupa dana pensiun dan jaminan kesehatan, tidak ada sanki pidana bagi pengusaha yang melanggar aturan.

Poin yang digarisbawahi para pekerja formal seolah menguatkan bahwa omnibus law dalam hal ini yang terkait dengan RUU cipta kerja dibuat untuk kepentingan pengusaha semata. Adakah upaya untuk memediasi ketua pihak dalam hal ini pengusaha dan pekerja sehingga tercipta win-win solution?

Berbeda halnya dengan para pelaku UMKM yang justru mendapat banyak support di tengah penggodokan Omnibus law. Angin segar dari berbagai kalangan memberi bantuan agar roda perekonomian di garda terdepan terus berputar. Infrastruktur digital pun siap mendukung UMKM Go onlie. 

Lantas apakah mereka serta merta mendukung bahkan menerima omnibus law. Secara resmi belum begitu gencar terdengar gerakannya memang. 

Lantas bagaimana dengan pemberlakukan pajak bagi transaksi UMKM dan transaksi digital, yang tentunya ini akan masuk dalam omnibus law cluster perpajakan.

Konsep pemberdayaan UMKM seperti apa sih yang akan disusun dalam omnibus law? Apakah support dalam hal ini pemberian modal berupa Kredir usaha sejenis KUR? Atau pola bapak asuh /pembinaan oleh BUMN/hibah lembaga melalui pemberian dana CSR (Corporate social Responsibilility?)

Siapkah UMKM yang berada di pelosok wilayah Go Digital ditengah tuntutan penguasaan tekhnologi komunikasi yang mendukung daya saing pemasaran online? 

Tentu ini hanyalah beberapa belanja masalah yang perlu dihimpun dan dicarikan solusi, bahkan bisa jadi ini menjadi cikal bakal irisan yang bersinggungan dengan UU ITE.

Sebagai orang baru seumur jagung merintis usaha kecil, saya berharap Omnibus law cluster UMKM ataupun cluster lainnya tidak saja menjadi produk yang disegerakan begitu saja sebagai prioritas prolegnas semata, melainkan menjadi solusi peraturan lintas batas. Sehingga tidak ada lagi sekat antara pekerja formal, ataupun pekerja mandiri pelaku UMKM. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun