Dan benar saja, selang beberapa menit terdengar tawa bersamaan diikuti kalimat salam. Parno merasa lega. Sebentar lagi misi yang ia emban akan terselesaikan. Kantong platik hitam yang didalamnya terdapat lembaran kertas titipan Srikendi dia rapikan. Parno beringsut dari tempat duduknya. Seketika berdiri ketika bapak-bapak bersegaram aparat keluar dari pintu balai desa menuju kendaraan yang mereka parkir. Reflek, tangan Parno melakukan gerakan hormat. Bapak bersegaram yang melihat Parno membalas dengan lambaian tangan disertai senyuman.
Diiringi bunyi laju mobil, Bapak aparat berlalu menjauh dari pusat tata kelola sistem kemasyarakatan Desa Gagah Dara. Menyusul beberapa tokoh masyarakat yang ikut berlalu mengendarai sepeda motornya. Pun lelaki berseragam safari berwarna cokelat susu dengan kumis tebal lagi berpeci hitam. Pak Dasir, Ki Lurah alias kepala desa tampak menstater motor CB nya dengan suara knalpot yang menambah siang terasa kian lantang.
Sopan parno mengetuk pintu balai desa. Terlihat Rahmat, pemuda yang dipercaya menjadi Pak Aman desa masih duduk bersama dua orang pamong desa lain. Masing-masing Ahmad yang bertugas sebagai ulu-ulu. Dan mbah Hasan yang sejak dulu hingga sekarang bertugas sebagai Lebe.
"Kulo nuwun..."Â demikian Parno beruluk salam
"Monggo..."Â hampir bersamaan ketiga pamong desa menyambut salam Parno
"Kang Carik ???" maksud Parno mencari tokoh penting sang sekretaris Desa
Rahmat yang mengetahui keberadaan Pak Carik, langsung menunjuk ke ruang dimana orang yang dicari berada
Dengan badan membungkuk, Parno seolah meminta ijin kepada ketiga pamong untuk menemui Pak carik diruangannya
"Kang..." Parno menyapa dari pintu ruangan yang terbuka  tempat pak carik beradaÂ
"Eh No...sini ..duduk" Lelaki yang tengah makan asam garam pemerintahan desa itu lekas menyuruh Parno duduk di kursi yang berada di hadapnnya
Hanya dibatasi meja kerja, dua lelaki itu langsung mengarah pada sesuatu yang serius.