Mohon tunggu...
Tama Nauli
Tama Nauli Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Ilmu Politik UPN Veteran Jakarta

Mahasiswa Ilmu Politik UPN Veteran Jakarta

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Polemik Piagam Jakarta dan Kaitannya dengan Paham Komunitarianisme

23 April 2021   02:20 Diperbarui: 23 April 2021   02:27 490
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Negara dan Agama

Negara adalah bentuk atau wujud nyata dari gejolak politik yang ada di tengah masyarakat. Definisi negara oleh Roger H. Soltau tertuang dalam bukunya ‘An Introduction to Politics (1951)’. Menurutnya negara adalah agen atau kewenangan yang mengatur atau mengendalikan persoalan-persoalan bersama atas nama masyarakat.[1] 

Sementara agama, menurut saya, adalah wadah bagi mereka yang percaya pada satu entitas yang biasa kita puja sebagai Tuhan Yang Maha Esa. Agama adalah tempat mencurahkan rasa syukur dan tempat belajar mengenai suatu. Biasanya agama diklasifikasikan menurut yang dipercaya, contoh Kristen Protestan dan Katolik yang percaya pada Yesus Kristus (khusus Katolik saya menambahkan Bunda Maria), atau Hindu yang menyembah Dewa Shiwa, dan Islam yang menyembah Allah Subhanahu wa ta'ala. 

Komunitarianisme adalah paham mengenai komunitas. Sebenarnya dalam bingkai Indonesia, topik ini tidak akan pernah habis mengingat Indonesia memiliki beragam komunitas di dalamnya. Komunitas agama, komunitas suku, komunitas etnis, komunitas ras, belum lagi ideologi. Komunitarianisme walau memiliki banyak topik untuk dibahas namun sangat jarang pembahasannya berada di tengah masyarakat Indonesia.[2]

Masalah negara dan agama dalam negeri tercinta ini sudah muncul saat pembentukan negara Republik Indonesia. Saat itu pembentukan Pancasila mengalami polemik penolakan akan tujuh kata Sila Pertama, bunyinya “Ketuhanan, dengan kewajiban melaksanakan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya.”

Pembetukan BPUPKI pada 29 April 1945, beranggotakan 67 orang dengan ketua dr. KRT. Radjiman Wedyodiningrat. BPUPKI dibuat oleh Jepang dalam mewujudkan kemerdekaan Indonesia. Betul, persiapan kemerdekaan Indonesia. Untuk mweujudkan mimpi merdeka dan menjadi bangsa utuh, Indonesia perlu memiliki konstitusi dan dasar negara, fondasinya. BPUPKI dengan dua kali sidang membahas banyak hal.

Sidang pertama pada tanggal 28 Mei – 1 Juni 1945 adalah mencari dasar negara. Tokoh-tokoh yang menyumbangkan pikirannya adalah Soepomo, M. Yamin, Soekarno, dan M. Hatta. Sebenarnya di luar mereka, banyak yang memberikan sumbangsih pemikirannya dalam merancang dasar negara Indonesia, golongan yang aktif saat itu adalah golongan nasionalis dan golongan islam. 

Golongan islam menyarankan untuk membuat agama resmi negara adalah agama Islam dan pemimpin atau presiden harus warga negara Indonesia. Alasannya sederhana, karena Islam adalah agama mayoritas Indonesia, maka sudah selayaknya. Hal ini mendapat penolakan keras dari golongan nasionalis. Dalam sidang pertama, tidak ada kesepakatan perihal dasar negara. Maka dibuatlah Panitia Sembilan untuk melanjutkan pembicaraan di masa reses.

Sebelum adanya Panitia Sembilan, Panitia Delapan dibuat terlebih dahulu dengan Soekarno sebagai ketua. Anggotanya ada Ki Bagus Hadikusumo, M. Hatta, M. Yamin, KH Wahid Hasyim, Sutardji Hadikusumo, Otto Iskandardinata, dan AA Maramis. Dengan harapan dapat merumuskan consensus, mereka gagal. Dengan penyempurnaan terbentuklah Panitia Sembilan dengan Soekarno tetap menjadi ketuanya dan beranggotakan golongan nasionalis: M. Hatta, M. Yamin, Achmad Soebardjo, dan AA Maramis. 

Tidak lupa juga dari golongan Islam ada KH Wahid Hasyim, Abdul Kahar Muzakir, Abikoesno Tjokorosoenjoso, dan H. Agus Salim. Rapat Panitia Sembilan menghasilkan sebuah consensus yang dikenal dengan nama Piagam Jakarta (22 Juni 1945). Perbedaan Pancasila versi Piagam Jakarta dan Pancasila dalam UUD 1945 terletak pada sila pertama, bunyinya “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya.”

Sidang kedua BPUPKI pada tanggal 10 - 16 Juli 1945 tidak berjalan dengan baik karena ternyata banyak anggota BPUPKI menolak consensus hasil Panitia Sembilan yang diketuai Soekarno itu. 

Menurut Johannes Latuharhary, Wongsonegoro, dan Djajadinigrat “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi para pemeluknya” dapat mengancam eksistensi pemeluk agama lain dan adat istiadat. Setelah perdebatan panjang dan sempaat deadlock di tanggal 15 Juli 1945, sidang itu menemukan titik terang dengan Soekarno memberikan jalan tengah. Akhirnya rangkuplah hasil sidang, antara lain:

  • Tidak mengubah Piagam Jakarta
  • Presiden Indonesia adalah orang Indonesia asli yang beragama Islam
  • Islam sebagai agama negara
  • Negara berdasarkan Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islan bagi pemeluknya.

Singkat cerita, BPUPKI di bubarkan dan di ganti oleh PPKI yang berjumlah 21 orang saja. Sidang di tanggal 18 Agustus 1945 mengesahkan UUD 45, memilih dan mengangkat Soekarno dan Hatta sebagai presiden dan wakil presiden. Di sidang kedua (19 Agustus 1945) PPKI membentuk dua belas kementerian dan empat menteri negara.

Perdebatan mengenai negara dan agama belum selesai sampai penetapan sidang BPUPKI kedua. Setelah perdebatan panjang mengenai Pancasila dan Islam, tersepakatilah sila pertama pada Piagam Jakarta akan tetap sama, namun sila pertama dalam UUD 1945 diganti wacananya menjadi “Ketuhanan Yang Maha Esa”.

Kembali ke komunitarianisme. Dalam jurnal tulisan Handi Hadiwitanto dan Carl Sterkens, dituliskan bahwa menurut komunitarianisme pengakuan menjadi bermakna bila dalam kebijakan maupun perlakuan terhadap individu dan kelompok, kita memperhitungkan perbedaan substantif. Dan dalam komunitarianisme, nilai tertinggi di tempatkan pada komunitas. 

Kaum ini menekankan bahwasannya identitas individu tergantung pada hubungan dialogis dengan orang lain dan kelompok. Artinya dalam interaksi masyarakat, individu perlu menyesuaikan asal identitas sosial mereka. Komunitarianisme memegang istilah kelompok untuk identitas mereka dan ini menyiratkan bahwa individu tidak dapat sepenuhnya dipisahkan dari ikatan sosial mereka.

Dalam hal ini, kaitan komunitarianisme dengan proses Piagam Jakarta adalah intervensi Islam dalam pembentukan dasar negara Indonesia. Islam adalah komunitas agama, nasionalis adalah komunitas mereka yang berkebangsaan. Komunitas adalah perkumpulan atau golongan. Selalu membawa kepentingan masing-masing. Intervensi civil society yang tergabung dalam suatu gerakan, komunitas, massa tidak dapat dianya akan memberikan dampak kecil maupun besar terhadap kebijakan negara.

Dalam prosesnya, Islam sangat membawa kepentingan golongan mereka, dan itu menurut saya sah. Negara dan agama etisnya tidak boleh saling ikut campur namun dalam praktiknya sangat susah untuk memisahkan mereka. Isunya yang sangat berdampingan membuat keduanya dituntut untuk dapat bekerja sama demi mencapai hasil terbaik.

Maka dari itu, dalam hidup keberagaman, demokrasi, kita tidak boleh diam-diam saja dan menerima apapun yang disuguhkan. Tidak mengikuti dan mengawal isu yang ada, karena jika golongan sebelah vocal dan mendapat privilege terhadap kebijakan yang disahkan, kita hanya bisa bisa menerima atau melawan. Bukannya dikawal dari awal lebih baik? Demokrasi itu berisik, ricuh, semua orang bersuara dan tidak sedikit yang beranggapan mereka benar. Kalah dan ketinggalan kalau kita tetap hidup dalam kesunyian. Negara dan agama adalah dua hal berbeda yang saling berkaitan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun