Setelah berkelana ke tanah Jawa, saya menyadari dua hal. Pertama, Madura menurut orang luar Madura adalah pulau yang gersang, tandus, miskin, terbelakang dan kasar orang-orangnya. Kedua, saya baru sadar keelokan dan keindahan alam dan manusia yang menghuninya.
[caption id="attachment_266404" align="alignnone" width="1088" caption="foto.tamam doc"][/caption]
Tanah pertama kali saya datangi dan tempati adalah Jombang dalam rangka studi. Kesan pertama kali tentang Jawa adalah bahasanya. Saya seperti dikerumuni suara-suara berbincang yang aneh. Mereka cepat sekali saat berkomunikasi dengan kumpulan bahasa planet yang susah dipahami.
Di sekolah dan sewaktu para kiai mengajar, mereka tak pernah melupakan Madura sebagai bahan banyolan dan lelucon segar. Dari mereka saya baru tahu. Orang Madura itu kumpulan Abu Nawas. Tampak bodoh, namun selalu saja punya cara berkelit dari keadaan sulit. Orang-orang Madura seperti lekat dengan kehidupan para sufi yang penuh hikmah.
Tempat kedua di Jawa adalah Jogjakarta. Di tempat para pelajar ini, saya semakin mengenal bagaimana orang luar memandang Madura dan orang-orang di dalamnya. Berbeda dengan Jombang, di Jogja bermukim banyak orang dari daerah berlainan di seluruh penjuru tanah air.
Di Jogja, saya baru mengetahui bahwa orang luar memandang Madura sebagai tanah pedalaman yang jauh. Terkurung oleh laut. Menepi sendirian seperti daerah penuh misteri dan menakutkan. Orang-orang keluar dari sana, katanya kasar, tak punya adat, egois dan suka bertengkar jika sedikit saja disinggung.
Lambat laun, di Jogja ternyata tak semua orang menakuti orang Madura. Banyak di antara mereka yang menyimpan kekaguman dan ketakjuban. Lebih-lebih, ketika saya mengetahui pentingnya Kiai Kholil bagi mereka. Guru dari para guru ulama di tanah air. Termasuk bahkan Guru dari Mahaguru tanah Jawa, yaitu KH. Hasyim Asyari. Makin lengkaplah saya memahami paradigma orang luar tentang Madura.
Yang berkesan bagi saya adalah tak sedikitnya perempuan Jawa yang mengidolakan pria Madura. Bagi mereka, anak-anak muda dari rantauan Madura selalu cerdas-cerdas. Kuat pemahaman keagamaannya, dan cepat dalam menguasai pelajaran. Secara kepribadian sangat supel, ramah dan bersahaja. Bagi pihak ini, mereka menganggap bahwa Madura berhak diberi sebutan, serambi Madinah. Sebuah stigma tentang Madura yang warna-warni.
Madura itu Elok dan Rupawan
Sebenarnya kalau dibilang orang Madura itu kasar, mudah marah dan lantas gampang bertengkar ada benarnya. Sama benarnya bahwa mereka sosok pemaaf, dan mudah bersahabat dengan siapa saja. Barangkali yang tak dipahami orang luar, bahwa orang Madura adalah orang yang berbeda dengan orang Jawa.
Orang Madura menyukai keterbukaan, tanpa basa-basi. Ini tentu berbeda dengan orang Jawa yang penuh basa-basi. Bagi orang Madura, orang Jawa terlalu ribet dan susah dimengerti. Saya kira, ini hanya soal pola sikap yang berlainan. Bagi orang Jawa, sikap basa-basi diperlukan.
Dalam arti, setiap sikap memerlukan seni penyampaian tersendiri terlebih dahulu sebelum diutarakan. Istilahnya, sebelum sampai pada tujuan, kita perlu membangun keakraban dan suasana pembukaan. Bagi saya, ini suatu bentuk sikap yang saling melengkapi.
Selain soal sikap, berkali-kali pulang kampung menggunakan sepeda motor, saya menyadari sesuatu yang lain. Anggapan bahwa Madura adalah pulau pedalaman yang menepi, tandus, gersang, dan tak ada indahnya, rupa-rupanya sangat keliru.
[caption id="attachment_266405" align="alignnone" width="480" caption=" pantai pinggir jalan utama-Sunset"]
Sepanjang saya melakukan perjalanan, jarang sekali saya merasakan kelelahan. Ini disebabkan banyaknya fenomena pemandangan alam yang menyedapkan mata. Bayangkan saja, perjalanan berisik, panas dan penuh kendaraan dari Surabaya, lantas berganti pemandangan yang menakjubkan sejak sebelum menuju Jembatan Suramadu.
Kita bisa merasakan sensasi keindahan lautan. Di atas jembatan, sensasi makin menggetarkan. Berjalan di atas laut, sepanjang perjalanan, mata dimanjakan dengan gelombang lautan. Bila tiupan angin lumayan kencang, sensasinya bertambah. Demikian bila air laut sedang pasang, posisi jembatan dengan sendirinya menanjak lebih tinggi. Kita seperti berada di atas awang-awang yang luas dan mengangkasa.
Lepas dari jembatan, kita dihibur dengan pedagang-pedagang dengan anek rupa ciri khas Madura, kaos, makanan dan lain sebagainya. Mata juga makin sedang dengan fenomena alam persawahan, sungai, dan jalanan yang tak begitu ramai dan sesak.
[caption id="attachment_266406" align="alignnone" width="259" caption="macet-pasar tepi jalan "]
[caption id="attachment_266407" align="alignnone" width="720" caption="eksotisme-hehehe"]
[caption id="attachment_266409" align="alignnone" width="817" caption="sensasi melalui kapal laut"]
Wisata Pantai Gratis
Barangkali, fenomena satu ini yang paling ditunggu dan menghilangkan penat dan lelah sepanjang perjalanan. Setelah melalui perjalanan persawahan, sesak dan macet setelah berkali-kali melewati pasar pinggir jalan, panorama pantai berkilo-kilo panjangnya siap-siap menghibur mata.
Bagi saya, ini adalah sensasi dan potensi wisata luar biasa. Namun sayangnya, fenomena dahsyat ini belum terpikirkan oleh para punggawa di Madura. Betapa eloknya panorama perjalanan di jalan-jalan utama di Madura. Sebab, jalan-jalan di sepanjang pinggiran pantai belum terkelola dengan baik. Padahal, jika dikelola pastilah bisa menjadi perjalanan wisata yang mengagumkan. Para pelancong bisa menikmati perjalanan mereka di setiap ruas-ruas jalan.
Tak cukup hanya berhenti di situ, di setiap kota di Madura, juga terdapat potensi-potensi lain yang perlu digarap. Bisa menjadi tempat berhenti, dan beristirahat melepas lelah bagi para pelancong.
[caption id="attachment_266408" align="alignnone" width="320" caption="api tak kunjung padam-- bisa buat bakar jagung"]
Banyak situs-situs bersejarah yang bisa didatangi. Termasuk fenomena keajaiban alam, seperti situs api yang tak pernah padam. Situs makam di atas puncak bukit, dan masih banyak lainnya.