Mohon tunggu...
Bawah Paras Laut ۞
Bawah Paras Laut ۞ Mohon Tunggu... lainnya -

~Diaspora Tanah Kumpeni, 40+, domisili di suburb Amsterdam. Paspor merah, hati tetap ijo. Mencoba menulis isu sehari-hari untuk dokumentasi pribadi. Sukur-sukur berguna bagi sesama.~\r\n\r\n“If you don’t like something, change it, if you can’t change it, change your attitude” -Maya Angelou-

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Kaldu Air Mata

5 November 2014   13:03 Diperbarui: 17 Juni 2015   18:35 149
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1415141856899161142

Anda ingin masak selezat Nyonya Susie? Gampang saja! Panaskan mentega di kuali, goreng dada ayam hingga kuning keemasan, perciki dengan jeruk nipis, tambahkan peterseli segar dan adas, lalu tiriskan…

Ah, lupakan! Tak ada yang mampu menyainginya. Apa pun yang Anda lakukan, hasilnya dijamin tak seenak buatannya. Cuma Susie yang sanggup menyulap hidangan itu sampai penikmatnya memejamkan mata saking sedapnya.

Apa rahasia resep Susie sebenarnya? Tiga puluh tahun trauma, kawan!

[caption id="attachment_372008" align="aligncenter" width="600" caption="Ilustrasi: rebelart.com"][/caption]

Nyonya Susie cocok jadi ratu dapur sesungguhnya. Kerap kali ia mengeluh soal bobot tubuhnya. Pipinya gembil dan ranum dihiasi dua kelereng coklat berbinar-binar. Tak terhitung pujian diterimanya ihwal kepiawaiannya di pawon. Senyum pun senantiasa tersungging di sudut bibirnya.

Tentu saja banyak orang ingin tahu apa bumbu mujarab di masakannya. Susie bergeming. Mulutnya terkunci rapat. Ia tak suka riwayatnya diumbar. Jalan hidupnya hanya hati kecilnya yang tahu.

Untung, Jumhana suaminya, tak kalut bercerita, “Keluarga kami pejuang keturunan menak melawan Belanda. Sedangkan Susie, noni Indo blasteran di Bogor!”

Abdi jatuh hati padanya, meski keluarga jelas-jelas menentang. Kami nikah diam-diam tanpa restu orang tua,” lanjutnya.

Jumhana menghela nafas.

“Tiap hari Susie mengirim penganan ke rumah mertua abdi. Bertahun-tahun! Hingga suatu hari ia mengetahui kirimannya berlabuh di keranjang sampah,” kenang Jumhana.

Alih-alih kecewa, Susie kian terampil mengasah kemampuannya. Aroma masakan tersebar di seantero Buitenzorg menggugah selera. Dari pintu ke pintu, dari mulut ke mulut, dari meja ke meja… Hanya di keluarga Jumhana, olahan Susie berakhir di tong sampah.

Cadas sekeras berlian pun dapat diasah, lain halnya dengan kepala batu ayah Jumhana. Lelaki renta itu hingga masa senjanya tidak sudi mengunyah sajian menantunya.

Untung tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak. Karma merajam ayahanda Jumhana. Digerogoti usia, pikun mencokok pikirannya. Ayah Jumhana tak sadar lagi, siapa masak apa.

Aku lihat sendiri tubuh kisut itu melahap ayam mentega racikan menantu yang amat dibencinya. Dua piring ludes di hadapannya. Si bangka kena tulah!

Impas? Jangan silaf, kawan…

Sampai sekarang, cadas itu belum rapuh di kepala ayah Jumhana. Suatu hari, sehabis menyantap masakan Susie, ia bersendawa. Matanya mendelik melihat cucunya.

“Siapa ayahmu, Nak?” sergah kakek itu dengan pandangan elangnya.

Bocah menggemaskan itu sontak menunjuk Jumhana.

Suasana hening sesaat. Tatapan kakek tua itu tiba-tiba beradu dengan Susie.

Godverdomme zeg! Hanya Gusti Allah yang tahu dengan siapa perempuan antek Belanda ini berbagi ranjang!” pekiknya.

Susie terhuyung menuju dapur. Butiran bening menitik di pipinya. Air mata itu menetes pula di belanga

***

Gunung Mas, medio Agustus 2009

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun