Mohon tunggu...
taher heringuhir
taher heringuhir Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Karyawan di TV bursa efek Indonesia, IDX Channel. www.tahersaleh.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Money

"The Power of Audit", Mengawal Harta Negara

11 Februari 2018   19:53 Diperbarui: 11 Februari 2018   20:17 528
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto: Tribunnews.com

"Sekarang Rusia menolak Trias Politika sudah 22 tahun yang lalu, Sun Yat Sen juga menolak Trias Politika 30 tahun yang lalu. Jadi ada aliran yang menyatakan bahwa Trias Politika itu kolot," kata Bung Karno, suatu ketika dalam sebuah rapat Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK), 11 Juli 1945.

Pernyataan Bung Karno dalam rapat menentukan hukum dasar negara ini menegaskan bahwa Trias Politika yang digagas pemikir John Locke (lalu disempurnakan Montesquieu) tak cukup kuat dalam mendukung penyelenggaraan negara. Pemisahan kekuasaan eksekutif, legislatif, dan yudikatif dinilai tidak akan mampu mewujudkan kesejahteraan bersama bagi seluruh rakyat Indonesia atau dalam istilah Bung Karno, sociale rechtvaardigheid.

Faktanya demikian. Sejarah Indonesia mencatat, ada pilar lain yang juga menopang dan mengawasi penyelenggaraan negara yang bersih, transparan, dan adil yakni the power of press(media massa) dan the power of people (kekuatan publik). Pers dan aksi unjuk rasa masyarakat terbukti ampuh menentukan kebijakan negara ketika keputusan di tiga pilar tersebut tak mampu menjawab kebutuhan nyata di masyarakat.

Dan, ada satu kekuatan struktural lain yang berperan besar dalam menjaga penyelenggaraan negara lebih bersih, transparan, dan akuntabel yakni the power of audit, atau kekuatan auditif. Kekuatan auditif ini penting mengingat salah satu bentuk penyelewengan pengelolaan negara ialah korupsi, menyalahgunakan keuangan negara demi kepentingan pribadi.

Korupsi tak bisa dielakkan menjadi momok menakutkan bagi negara manapun. Imbasnya dahsyat, perilaku koruptif merusak tatanan negara, menjauhkan rakyat dari kesejahteraan. Korupsi bukan lagi dilakukan orang perorangan, tapi sudah berjamaah, dari pejabat tinggi hingga wakil rakyat. Bukan peristiwa baru jika di televisi, radio, media online, pemberitaan soal Operasi Tangkap Tangan (OTT) menjadi menu saban hari.

Tingkat korupsi Indonesia saat ini memang masih tinggi kendati angkanya turun. Indeks Persepsi Korupsi atau Corruption Perseption Index2017yang dirilis Transparency International menempatkan Indonesia di peringkat ketiga se-ASEAN. Level itu mampu menyalip Filipina dan Thailand, meski masih kalah dari Singapura di urutan pertama.

Tingginya angka korupsi jugalah yang menjadi penjegal kenapa peringkat Indonesia dalam Indeks Kemudahan Berbisnis 2018 atau Ease of Doing Business (EOD) yang dirilis Bank Dunia pada November tahun lalu kurang melesat. Peringkat EOD Indonesia naik ke level 72 dari 190 negara yang disurvei, dari sebelumnya 106 pada 2015, lalu 91 pada 2016. Dalam Global Competitiveness Index 2017-2018 juga menyebutkan bahwa birokrasi dan inefisiensi menjadi tolok ukur perbaikan peringkat Indonesia yang naik dari posisi 41 ke posisi 36.

Pada kondisi demikian, hadirnya kekuatan auditif menjadi begitu penting dalam menjaga negara tetap berjalan dalam koridor demi sociale rechtvaardigheid sebagaimana ditegaskan Bung Karno dalam buku Badan Pemeriksa Keuangan, Dalam Proses Perubahan UUD Tahun 1945 terbitan 2012 itu.

Kekuatan auditif ini dimanifestasikan lewat eksistensi Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang hadir sejak 1 Januari 1947. Kehadiran BPK guna mengawal keuangan negara. Hanya saja, perjuangan BPK bukan tanpa rintangan. Di zaman penjajahan Belanda, BPK, ketika itu bernama Algemene Rekenhamer, hanya menjadi alat pemerintah. Begitu pula di zaman pra-kemerdekaan, fungsi BPK masih sekadar tukang catat keuangan negara.

Ketika pemerintahan beralih ke Orde Lama di bawah Presiden Soekarno, kendali pemerintah tetap ada. Presiden Soekarno kala itu bertindak sebagai Pemeriksa Agung, sementara Ketua BPK hanya sebagai menteri yang berada di bawah komando Presiden. Peranan BPK di masa Orde Baru pun direduksi. Saat itu menjadi hal yang mustahil bagi BPK untuk memeriksa aset-aset utama sumber dana pemerintah seperti Pertamina, BNI, dan bank-bank BUMN. Buku saku Mengenal Lebih Dekat BPK mengungkapkan bahwa laporan-laporan yang disajikan BPK tidak mencerminkan kondisi keuangan negara yang sebenarnya, bahkan laporan tersebut juga haram dipublikasikan karena menjadi dokumen rahasia negara.

Hilangnya fungsi audit ini menyebabkan BPK 'pincang'. Korupsi pun akhirnya merajalela di zaman Orde Lama dan Orde Baru karena ketiadaan pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara. Padahal, syarat penting tata kelola negara yang baik ialah transparansi dan akuntabilitas keuangan negara.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun