Mohon tunggu...
taher heringuhir
taher heringuhir Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Karyawan di TV bursa efek Indonesia, IDX Channel. www.tahersaleh.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Money

Orang-orang India di Grup Bakrie

4 Maret 2017   14:09 Diperbarui: 4 Maret 2017   14:38 1858
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Public expose BUMI, photo: plazadana

Di Bumi, ada empat direksi yakni dua dari Indonesia, satu Inggris dan satu India (Dileep). Adapun direksi emiten Grup Bakrie lainnya diperkuat orang Indonesia. “BRMS 100 persen direksinya orang lokal, begitu juga BNBR, BTEL, dan ELTY [Bakrieland], Pak," kata Dileep yang bergabung dengan Grup Bakrie sejak 1 November 1997. “Grup Bakrie adalah perusahaan dengan prinsip humanity yang tinggi, menghargai dan memelihara profesionalisme, di atas pertimbangan lain, termasuk kewarganegaraan,” katanya.

Bagi Dileep, orang India itu punya komitmen tinggi dalam bekerja karena mereka perfeksionis, cepat respons, pintar manajemen waktu, tekun, out of the box, kompeten dalam keuangan dan makro, pemikir strategis dan berorientasi hasil, serta pintar berkomunikasi. “Mereka ramah, tapi bisa agresif soal gaya bekerja dan terbiasa tumbuh dalam lingkungan yang kompetitif.” Mereka, kata Dileep, juga sangat setia dengan atasan, sebuah hubungan yang saling melengkapi apalagi dari sisi asimilasi budaya juga banyak kesamaan termasuk tradisi dan makanan. “There is so much commonality," katanya.

Dileep juga meminta jawaban ke koleganya, sesama orang India soal apa keunggulan dan kekurangan orang India, untuk keperluan tulisan ini. Jawabannya tak jauh beda soal profesionalisme, ditambah dengan kesamaan budaya yang membuat asimilasi budaya semakin cepat.

“Budaya, kekeluargaan, pertemanan, makanan, dan populasinya [mirip],” katanya. Menurut Dileep, orang India berdaptasi dengan baik, kompetensinya unik, dan marketing yang baik. “Sebab itu, sepatutnya diperlakukan sama dengan yang lain.”

Tentu semua bangsa punya karakter berbeda dalam bekerja. Dalam sebuah artikel di redbus2us.com berjudul “Work Culture, Ethics, Time at work, Importance–India vs.America”, seorang penulis India, Kumar, bercerita soal budaya kerja orang India dibandingkan dengan AS. Orang Amerika bekerja biasanya 8 jam per hari, nah India hingga 12 jam per hari. Orang AS yang juga suka bekerja di rumah dan komitmen terhadap deadlinekerja. "You should never miss any deadlines...being on time is important," tulis Kumar. Bagi orang India, deadline penting, tapi orang India cenderung bernegosiasi dengan atasan, jadi menjadi tepat waktu tidak sepenuhnya diikuti.

Artikel lain berjudul “Japanese and Indian Work Cultures are Starkly Different” yang ditulis Geetanjali Vikram Kirloskar di economictimes.indiatimes.com juga menjelaskan karakter orang India dibanding Jepang. Orang Jepang mulai rapat lebih awal dan mengambil keputusan secara konsensus. India, para pekerjanya lebih terinspirasi dengan teladan dan pemimpin yang kuat. Orang Jepang lebih memilih tidak berkonflik dengan sesama atau bos di depan publik, lebih homogen, tapi orang India lebih bebas mengajukan sudut pandang berbeda, cenderung agresif dalam nada dan cara, serta suka menyela dan sering mengulang. “Mungkin karena kami belum yakin jika audiens sepenuhnya sudah paham,” kata Geetanjali Kirloskaar, Chairperson Takshasila Hospitals Operating Private Ltd.

Bagaimana dengan kekurangan orang India? “Kekurangannya, mereka kadang suka aneh, dalam artian hal yang mudah dibikin ribet. Kadang tidak tuntas kelarin masalah, jadi berulang terus kayak kaset rusak,” kata Ucup, seorang kawan yang bekerja di perusahaan milik orang India. Tapi keunggulannya orang India itu ibarat orang China, tapi berbeda kulit saja. “Mereka pekerja keras, ngeyel, enggak mundur meski peluangnya kecil. Dan mereka sangat profesional.”

Sifat professional dan tekun inilah barangkali yang membuat orang-orang India cukup diandalkan di Grup Bakrie meskipun SDM lokal Indonesia tak kalah kompetitif. Di Grup Bakrie, tak hanya butuh orang handal, tapi juga pintar berkomunikasi dengan media, dan cepat tanggap. Itu sebabnya Dileep punya kredit tersendiri, selalu hadir di kala publik butuh jawaban. Bukan akhir-akhir ini saja Dileep tampil ke publik saat Bumi tengah berupaya merestrukturisasi utangnya yang menggunung, melainkan sudah sejak lama. Tahun 2008, ketika Grup Bakrie diterpa isu default atau gagal bayar transaksi repo, Dileep juga-lah orang yang ikut meredam guncangan di pasar.

Kini, keberadaan top managementyang mumpuni sangat dibutuhkan di tengah belum pulihnya kinerja beberapa emiten Grup Bakrie lantaran rendahnya harga komoditas. Beberapa emiten grup ini malah masih merugi per September 2016 di antaranya Bakrie Sumatera (UNSP), Energi Mega (ENRG), BTEL, dan BRMS.

Bakrie Sumatera masih mencetak rugi pada September tahun lalu melanjutkan rugi bersih pada 2015 yakni Rp1,05 triliun. Kerugian ini dialami perseroan sejak 2012. ENRG juga merugi US$47 juta seiring dengan rendahnya penjualan. BRMS pun menderita rugi U$346 juta dolar. BRMS bahkan hanya mengandalkan bisnis konsultasi dari anak usaha di Jepang.

Bakrie Telecom alias BTEL bisa dibilang paling terdampak kendati publik berharap perusahaan ini bisa bangkit lagi karena banyaknya karyawan di perusahaan ini. Bakrie Telecom, lewat produk Esia, awalnya mampu bersaing di industri telekomunikasi. Akhir tahun 2008, pendapatan BTEL bahkan tembus Rp2,8 triliun dengan laba bersih Rp137 milar, tapi per September tahun lalu—selang 8 tahun kemudian—ekuitas perusahaan minus hingga Rp13,26 triliun, pendapatan turun menjadi Rp149 miliar dan rugi bersih Rp75 miliar.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun