Keinginan manusia sejatinya tidak terlepas dari dua keadaan tentang suka dan duka, akan tetapi manusia enggan untuk memilih duka dalam hidupnya
puisi ini terinspirasi dari kejadian memilukan yang baru saja terjadi.
Mengapa segala sesuatu yang putih, cepat sekali berubah menjadi hitam
mengaku untuk salah lebih baik dibandingkan diam dalam tanda tanya.
Buang semua rasa merendahkan diri karena Kau hadir bukan untuk dilukai...
Sayup-sayup suara sendu mengalun mengiring cerita seram Mendesir terbawa angin sampai ke pendengaran Merintih mengaduh membuat diri meremang
Coba sekarang kau lihat, luka ku makin terpahat. Sedang tidak ingin bersahabat, namun aku bukan orang jahat
Di antara sinar mentari yang membelai, terpancarlah sosok penuh cinta dan kasih, dialah ibu
Dunia tak perlu tahu, seberapa susah payahnya kau menocoba untuk tetap hidup
Di balik sinar mentari yang bersinar terang, Ada kasih ibu, yang tiada terperi, Dalam pelukan hangatnya
Di dunia ini, terhamparlah sosok luhur, sebuah kasih tulus yang tak pernah berkurang, Dalam kehangatan yang setia tak tergantikan,
Puisi ini dibuat oleh guru yang baru saja kehilangan sosok kepala sekolah dan satu rekan guru lainnya. Puisi dibacakan pada moment perpisahan sekolah
Karya dari Anggota Komunitas Penulis Mahasiswa Beasiswa Universitas Islam Malang
Seseorang yang naif bukan berarti bodoh, ia hanya terlalu tulus untuk dunia yang jahat ini. Ironi sebuah kenaifan hidup tersaji dalam puisi ini.
Perjuangan yang tak pernah ada sambutan, langkah dan usaha yang terus terabaikan, sampai membuatmu lupa akan sebuah harapan.
Perjuangan melelahkan dari melawan takdir membawa seseorang terombang-ambing, entah mereka menjadi semakin kuat atau malah semakin rapuh.
Kehidupn itu absurd. Maka melodi ini akan menjelaskan suatu makna yang mungkin tidak berarti.
Puisi yang menggambarkan kesedihan penulisnya dalam melihat diri sendiri.
Karya Syamsul Bahri. Menangislah, keluarkan segala kepedihan.
Kepada hujan yang menjadikan langit temaram, setiap tetes air hujan adalah air mata