Semua orang mengakui kehebatan Soekarno. Bukan hanya “takdir” baik yang diterimanya sebagai pejuang kemerdekaan dan proklamator bangsa, tapi segenap ajarannya, prinsipnya, komitmennya, nilai-nilai yang dianutnya, serta pemikiran-pemikiran cerdasnya tetap terjaga dan diturunkan secara turun-temurun. Soekarno, adalah sosok yang hebat. Banyak hal yang sampai sekarang masih kerap diperkenalkan sebagai khas Soekarno, selain pemikiran dan ajarannya. Soekarno adalah bapak bangsa, penyambung lidah rakyat. Bersama-sama, ketika itu, Soekarno berhasil meletakkan prinsip-prinsip dan nilai-nilai bangsa Indonesia.
Sehingga tidak aneh, ketika sampai saat ini, banyak orang yang mengaguminya. Bukan hanya kagum, tapi sekaligus menjadi penerus dari sikap, pemikiran, dan ajaran Soekarno dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara yang kemudian disebut dengan para Soekarnois. Diantara mereka yang Soekarnois adalah Puan Maharani; politisi muda, menteri, sekaligus cucu Soekarno. Puan Maharani adalah seorang Soekarnois sejati. Apa yang menjadi bagian dari kehidupan Soekarno, berhasil diinternalisasikan oleh Puan Maharani menjadi sikap dan pandangannya sendiri.
Bukan hanya membaca, mendengar, dan menganalisa tapi Puan Maharani sekaligus menjadi pengamal pemikiran dan ajaran Soekarno, yang selalu kontekstual untuk dijadikan bekal dalam menjalani kehidupan berbangsa dan bernegara.
Tentu saja tidak mungkin untuk menjabarkan satu persatu bentuk sikap dan perilaku Soekarnois-nya, tapi dari dua kejadian terakhir ini, terutama dalam posisinya sebagai menteri, bisa menjadi sedikit bukti konsistensi Puan Maharani terhadap pemikiran kakeknya itu.
Pertama, pelaksanaan terhadap adigium Jasmerah. Jangan sekali-kali melupakan sejarah. Hal ini ditunjukkannya ketika ia membuka acara Lawatan Sejarah Nasional (Lasenas) 2017 di Bengkulu. Puan Maharani, selain menjelaskan pentingnya menghargai sejarah bangsa sebagai proses pendewasaan, momentum untuk membuka memori, dan untuk dijadikan ibroh bagi kita semua, juga menunjukkan penghargaannya yang tinggi atas sejarah dirinya. Bahwa Bengkulu adalah kampungnya, dari sanalah Fatmawati, neneknya, berasal. Disana, ada peninggalan Soekarno yang dikunjungi, dan ingin sekali direnovasinya. Menghargai sejarah adalah menghargai, merawat, dan mencintai para pendahulunya, termasuk peninggalannya, baik berupa benda ataupun pemikiran dan ajarannya.
Kedua, “egoisme-agama”. Puan Maharani, ketika menghadiri perayaan Hari Raya Waisak 2561 BE, di depan segenap umat Budha yang hadir, menyerukan pentingnya untuk menghindari “egoisme-agama” sebagaimana hal itu juga pernah diserukan oleh Soekarno. Puan Maharani, meskipun berbeda secara keyakinan dengan para hadirin, tetap konsisten untuk menunjukkan dan menyemai persamaan sebagai anak bangsa dalam kerangka universalitas nilai-nilai luhur bangsa ini, terutama tentang kebhinnekaan, persatuan dan kesatuan, toleransi, beragama dengan mementingkan prinsip-prinsip berkeadaban dengan saling menghormati dan menghargai. Meyakini agama sebagai sebuah kebenaran, harus. Tapi menyalahkan agama lain karena perbedaan prinsip keyakinan, itu tidak benar. Sehingga, Puan Maharani, mengajak kembali untuk menghindari “egoisme-agama”, karena masa depan bangsa lebih berharga ketimbang mengurus perbedaan yang tidak ada ujung pangkalnya.
Dari dua hal itulah, setidaknya kita bisa melihat sosok Puan Maharani sebagai Soekarnois sejati. Bukan hanya posisi dirinya sebagai cucu Soekarno, tapi apa yang dilakukannya adalah pengejawantahan dari nilai-nilai, ajaran, dan pemikiran Soekarno.