Mohon tunggu...
Tabrani Yunis
Tabrani Yunis Mohon Tunggu... Guru - Tabrani Yunis adalah Direktur Center for Community Development and Education (CCDE) Banda Aceh, juga sebagai Chief editor majalah POTRET, majalah Anak Cerdas. Gemar menulis dan memfasilitasi berbagai training bagi kaum perempuan.

Tabrani Yunis adalah Direktur Center for Community Development and Education (CCDE) Banda Aceh, juga sebagai Chief editor majalah POTRET, majalah Anak Cerdas. Gemar menulis dan memfasilitasi berbagai training bagi kaum perempuan.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Perempuan, Besar Potensinya, Kecil-Kecil Semuanya

29 Agustus 2015   10:31 Diperbarui: 29 Agustus 2015   10:31 102
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Besar Potensi, Kecil Usahanya"][/caption]Oleh Tabrani Yunis

 

Keterlibatan perempuan dalam ekonomi saat ini tampaknya memang sudah menjadi suatu keharusan. Perempuan harus membangun kemandirian ekonomi sendiri. Tidak bisa terus bergantung pada pendapatan atau penghasilan suami. Apalagi saat ini dalam realitas sosial, sangat banyak suami yang posisinya berada pada posisi yang sama dengan kebanyak perempuan, yakni posisi tidak berbaya (powerless), tidak punya pekerjaan tetap, pekerjaannya mocok-mocok serta pengahsilan yang sangat tidak menentu dan tidak dapat menyokong kehidupan ekonomi diri sendiri, apalagi ekonomi keluarga. Jadi, apa yang bisa diharapkan dari model suami yang seperti ini, apalagi kalau suami pengangguran, tidak punya ketrampilan dan punya anak yang berjubel. kacau bukan?

Padahal, sekali lagi kedudukan suami di dalam keluarga adalah menempati posisi sentral. Kedudukan suami dalam keluarga adalah sebagai pencari nafkah. ya, orang yang bekerja, mencari uang untuk menghidupkan anak dan isteri. Jadi, memang harus giat bekerja mencari dan mendapatkan uang agar dapur keluarga tetap mengepul, tidak kosong dan membuat keluarga kelaparan serta dalam keadaan serba kekurangan. Namun sekali lagi, kenyataan menununjukan semakin banyak suami yang tidak bekerja dan tidak punya penghasilan, sehingga  para suami seperti ini hanya melahirkan dan mewariskan kemiskinan.

Melihat kondisi buruk seperti ini, banyak perempuan yang tersadar dan bangkit dari sebuah mimpi buruk yang dialami mereka dalam kehidupan berkeluarga yang selama ini hanya mengharap dari penghasilan suami. Mereka bangkit dan prihatin bahkan merasa kasihan melihat suami yang tidak mampu menghasilkan rupiah untuk bisa menghidupkan keluarga. Nurani kebanyakan perempuan yang sudah menjadi ibu rumah tangga tersebut terpanggil untuk bisa membantu suami. Membantu menambah penghasilan suami, agar bisa membiayai segala kebutuhan rumah tangga dan sekolah anak-anak mereka. Maka, semakin banyak perempuan yang bangkit dan meronta keluar dari keadaan buruk itu. Ya, banyak  perempuan yang mulai terjun membuka usaha, sebagai pengusaha atau dalam bahasa yang lebih keren dan trend disebut dengan berbisnis, sebagai pebisnis.

Banyaknya perempuan yang terjun sebagai pengusaha, dapat dilihat di rumah-rumah, dimana sebagian perempuan memilih usaha atau bisnis rumahan. Biasanya karena background and interest di bidang masak-memasak, banyak usaha yang digeluti oleh perempuan di sektir makanan yakni dengan membuat dan menjual kue atau jajajanan lain. Ada pula yang menjual nasi bungkus di pagi hari atau kapan saja. Pekerjaan ini banyak dilakukan sebagai pekerjaan sambilan, karena kerja utama kebanyakan perempuan diposisikan di tiga ranah, sumur dapur dan kasur. Pekerjaan membuat dan menjual kue atau jajanan ini menjadi pilihan pertama, karena memang tidak membutuhkan banyak dana untuk modal.

Pilihan kerja yang lain adalah kegiatan jahit-menjahit. Banyak perempuan yang memilih pekerjaan sebagai tukang jahit atau penjahit pakaian. Terutama mereka yang memiliki fasilitas mesin jahit dan punya ketrampilan menjahit, walau masih angat minim. Pekerjaan ini menjadi pilihan, atas landasan tidak perlu keluar dari rumah. Menjahit bisa dilakukan sambil menjaga anak dan mengurus rumah tangga. Biasanya pula, kegiatan menjahit ini membuat perempuan mendapatkan penghasilan sebagai tambahan untuk menambah kekuarangan pengahasilan yang dibawa pulang oleh suami. Untuk di beberapa wilayah dan sejalan dengan trend masyarakat memaki pakaian jadi, geliat ekonomi dari kegiatan menjahit itu tidak menjanjikan dan tidak begitu menguntungkan.

Selain dua pekerjaan atau usaha ekonomi yang disebutkan di atas, banyak perempuan yang mengambil peran sebagai pedagang, yakni bergerak di sektor informal. Mereka menjadi pengusaha dan memenuhi pasar-pasar. Kita setiap hari bisa menyaksikan dan bahkan berhubungan dengan mereka yang memenuhi lapak-lapak di pasar. Mereka berjualan di emperan-emperan toko orang, dengan produk yang dijual mereka sangat terbatas dan dijual dengan harga yang relatif murah-murah. Mereka banyak yang tidak memiliki toko atau kios yang layak untuk berjualan dan sangat riskan terhadap kejaran petugas Satpol PP. Sangat memprihatinkan.

Memang bila amati perkembangan jumlah perempuan yang terjun ke dunia usaha saat ini semakin banyak, terutama di sector informal itu. Jumlahnya sungguh sudah sangat banyak. Mereka ada di desa-desa, kota kecil dan kota-kota besar. Sayangnya di tengah besarnya animo perempuan untuk terjun ke dunia usaha tersebut. Banyak factor yang menghambat gerak langkah mereka, terutama factor budaya yang masih mengkristal yang membuat gerak perempuan sangat tidak dinamis dalam menjalan usaha. Sehingga usaha yang dijalankan perempuan selama ini lebih banyak berada pada huruf – huruf K, bukan B atau SB. Apa gerangan yang terjadi dengan usaha atau bisnis yang dijalankan perempuan?

Jawabnya adalah boleh dikatakan usaha bisnis yang dilakukan oleh para perempuan selama ini semuanya dalam lingkup kecil-kecil. Pertama, dilihat dari cita-cita yang diusung perempuan dalam menjalan usaha itu umumnya kecil. Idealnya sebuah cita-cita atau visi itu memang harus besar. Seperti kata orang bijak, gantunglah cita-citamu setinggi bintang di langit. Tetapi tampaknya tidak ada dalam visi kebanyakan perempuan yang menjalankan usaha atau bisnis, terutam yang berada di sector informal itu. Bila kita tanyakan kepada mereka, terutama ibu-ibu rumah tangga yang meimilih dan terpaksa berbisnis itu dengan pertanyaan ini, “ Mengapa ibu membuka usaha?” Maka, jawaban yang sangat lazim diperoleh adalah untuk membantu suami. Jadi bukan untuk mendapatkan keuntungan yang besar atau banyak, sehingga bisa membantu ekonomi keluarga. Jadi cita-citanya sangat kecil dan pendek. Tidak futuristic and profitable. Dengan kecilnya impian tersebut, maka berdampak pada kondisi fisik usaha. Kita lihat dari porsi produk yang dihasilkan, umumnya kecil-kecil. Kecil jumlah, kecil pula kualitasnya. Ketika impannya kecil, maka konsekwensinya ada pada kecilnya target yang dibuat. Bila idealnya targetnya 1000 maka, target usahanya hanya ada 100, dengan alasan itu pekerjaan sambilan dan sebagainya. Lalu, ketika targetnya kecil, maka jumlah produk yang dihasilkan juga kecil atau sedikit. Ini juga disebabkan oleh kecilnya jumlah dan kualitas ilmu, serta kecilnya ketrampilan yang dimiliki untuk menjalakan usaha secara ideal.

Bukan hanya itu, kondisi usahanya akan terlihat pada tempat usaha. Umumnya kecil-kecil dan bahkan menumpang pada tempat orang lain. Alasannya karena kecilnya atau tidak adanya modal dana untuk mencari tempat yang lebih besar dan lebih strategis. Akhirnya ya memilih di rumah atau di emperan pertokoan yang berisiko tinggi itu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun