Mohon tunggu...
Tabrani Yunis
Tabrani Yunis Mohon Tunggu... Guru - Tabrani Yunis adalah Direktur Center for Community Development and Education (CCDE) Banda Aceh, juga sebagai Chief editor majalah POTRET, majalah Anak Cerdas. Gemar menulis dan memfasilitasi berbagai training bagi kaum perempuan.

Tabrani Yunis adalah Direktur Center for Community Development and Education (CCDE) Banda Aceh, juga sebagai Chief editor majalah POTRET, majalah Anak Cerdas. Gemar menulis dan memfasilitasi berbagai training bagi kaum perempuan.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Istri yang Menafkahi Suami

14 Agustus 2013   10:38 Diperbarui: 24 Juni 2015   09:19 1130
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Oleh: Tabrani Yunis

Ketika prosesi akad nikah, di  KUA dan di masjid-masjid, paling kurang ada dua sari wejangan diterima kedua calon pengantin yang disampaikan oleh  penghulu. Pertama, mengenai visi dalam berkeluarga itu terbangunnya keluarga ideal, disebut dengan keluarga sakinah, mawaddah dan wa rahmah. Tiga kata ini juga menjadi do’a dari setiap orang yang mengucapkan selamat kepada pasangan pengantin tersebut. setiap kali ada acara pernikahan dan resepsi perkawinan. Kedua, pesan yang juga sangat penting adalah pada pembagian posisi masing-masing dalam kehidupan berpasangan. Laki-laki, diposisikan sebagai kepala keluarga yang bertugas menafkahi istri dan selanjutnya anak-anak, sedangkan istri diposisikan sebagai pihak yang mengelola dan mengurus jalannya biduk keluarga. Artinya, suami adalah orang yang menanggung kewajiban memenuhi seluruh kebutuhan keluarga, termasuk kebutuhan rohani.

Nah, kedua hal ini menjadi titik tolak  bagi setiap orang yang berkeluarga dengan berlandaskan pada  Firman Allah swt: “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir” (QS. Ar-Ruum: 21). Kemudian Allah juga berfirman: “Dan para perempuan mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma`ruf” (QS. Al-Baqarah: 228).

Dalam perspektif Negara pun, Pasal 1 UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menyebutkan pula: “Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan sebagai suami-isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.”

Nah, Surat Ar Ruum dan  pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974  tersebut di atas, mengisyaratkan kepada secara visioner, bahwa  tujuan  pernikahan dengan pasangan itu dimaksudkan untuk terciptanya kehidupan yang bahagia, penuh cinta, serta sejahtera. Ini dijadikan sebagai tanda-tanda bagi orang yang berakal atau berfikir. Orang-orang yang berakal sehat dan berfikir jernih, akan selalu mendambakan kehidupan keluarga ideal. Oleh sebab itu, bila berlandaskan pada hukum Allah dan hukum Negara tersebut, maka orang-orang yang berfikir itu akan menjadikan konsep keluarga ini menjadi lebih nyata. Karena sesungguhnya, apa yang dimaksud dengan keluarga sakinah, mawaddah dan wa rahmah itu adalah keluarga yang bisa hidup tentram, damai, sejahtera dan bahagia. Mereka  menjadikan cinta, kasih sayang, saling menghormati, saling menghargai, saling tidak menyakiti, saling melindungi dan non kekerasan sebagai pondasi keutahan rumah tangga. Ini adalah konsep keluarga yang sangat ideal. Karena non kekerasan, anti perbudakan, dan anti penindasan. Mungkin sangat sedikit orang yang bisa mencapai visi keluarga ini, karena banyak factor yang kini menjadi penghalang. Apalagi  kebanyakan masyarakat kita tidak memahami secara utuh konsep keluarga ideal ini. Idealnya, setiap orang menwujudkan konsep ini. Sehingga tidak hanya sebagai ucapan pemanis kepada setiap pasangan pengantin.

Memang dalam realitas social kekinian, terbukti bahwa konsep keluarga ideal ini, semakin sulit diraih oleh masyarakat kita, karena rendahnya pemahaman, kemampuan dan kesadaran untuk membentuk keluarga sakinah, mawaddah dan wa rahmah itu. Factor suami yang  telah dinobatkan sebagai kepala keluarga, namun tidak punya pekerjaan dan tidak punya income, serta seringnya muncul perilaku suami yang tidak bertanggung jawab memenuhi kebutuhan nafkah keluarga, menjadikan lembaga keluarga menjadi berantakan. Jadi hancurnya, institusi keluarga juga tidak terlepas dari tidak mampunya suami menghidupkan keluarga, karena sulit mendapat pekerjaan, budaya malas bekerja bahkan karena tidak punya ketrampilan kerja yang membuat ekonomi rumah tangga memburuk. Faktor ini sangat berpengaruh, di samping adanya factor eksternal terkait dengan ekonomi, social, budaya dan agama yang menempatkan posisi laki-laki dan perempuan dengan cara yang kurang berkeadilan. Kondisi yang ada saat ini, banyak keluarga yang terombang-ambing dan bahkan dihempas prahara yang berujung pada kehancuran keluarga.  Maka, mungkin dapat dikatakan wajar bila selama ini  di Indonesia semakin banyak kasus isteri yang gugat cerai terhadap suami. Hampir di setiap daerah di Indonesia kini muncul tuntutan gugat cerai isteri terhadap suami. Di Jambi, diberitakan  Tribun.com bahwa angka perceraian yang tinggi di Jambi didominasi cerai gugat atau cerai yang diajukan istri kepada suami. Di Cianjur, Jawa Barat seperti dipaparkan oleh Hakim Pengadilan Agama Cianjur, Fuad Syakir,  angkanya terus meningkat setiap tahun. Bahkan sepanjang tahun 2012 hingga Agutus, gugat cerai dari kaum istri meningkat 10 persen. telah terdaftar 732 gugatan yang dilakukan istri terhadap suami. Jumlah ini jauh dibandingkan jumlah talak cerai yang dilakukan suami terhadap istri. Di Aceh, kasus serupa juga signifikan dan terjadi di hampir semua kabupaten. Di Pidie,  pada tahun 2012 Mahkamah Syariyah Sigli pada tahun 2012. “Terhitung Januari-Desember tahun 2012, perkara cerai gugat tinggi, mencapai 186 kasus, jika dibandingkan dengan perkara lainnya. Total semua perkara yang masuk ke Mahkamah Syariyah Pidie tahun ini berjumlah 458 perkara,” kata Kepala Mahkamah Syariyah Sigli, Drs Miranda ( Serambi 2/1/13).  Di Bireun dan daerah lain juga sama trend-nya. Realitas ini membuktikan bahwa ada persoalan besar yang kini menggejolak, menghantam  dan menghancurkan bahtera rumah tangga. Secara  langsung juga menghancurkan masa depan anak-anak sebagai generasi bangsa. Mereka terlahir sebagai anak dari keluarga broken home dan menimbulkan persoalan social di tengah masyarakat. Sayangnya, gugat cerai menjadi solusi.

Banyak orang yang merasa prihatin terhadap tindakan perempuan yang menggugat cerai suami. Namun hanya prihatin semata. Lebih prihatin pua kalau ada pihak yang mengatakan bahwa tingginya angka kasus gugat cerai suami tersebut, karena derasnya arus pendidikan gender yang didapatkan oleh perempuan. Ini pendapat yang keliru. Karena, munculnya kasus tersebut tidak disebabkan oleh single factor, tetapi banyak factor penyebabnya. Salah satunya, karena semakin meningkat kesadaran kritis para perempuan. Banyak perempuan yang semakin cerdas dan progresif dalam berfikir. Mereka yang cerdas dan berfikir kritis, akan selalu menolak segala bentuk diskriminasi serta tindakan penelantaraan oleh suami dan hal-hal yang merugikan perempuan. Perempuan sudah sadar bahwa untuk membina rumah tangga tidak cukup dengan kata “ I love you” saja, tetapi harus diimbangi dengan pemenuhan akan kebutuhan hidup yang cukup, serta ketentraman hidup, tanpa ada tindak kekerasan di dalam rumah tangga.

Menafkahi Suami

Selain fenomena istri gugat cerai suami, realitas lain yang terjadi adalah semakin banyak perempuan yang secara suka atau tidak suka, harus bekerja. Perempuan sudah mulai keluar dari ranah domestic.  Bila dahulu, perempuan hanya bekerja di rumah mengurus rumah tangga, mengurus anak dan suami, tidak terjun bekerja ke sector public, karena budaya dan pemahaman masyarakat terhadap posisi perempuan sebagai pendamping, pengurus rumah tangga masih melekat begitu erat. Namun, sejalan dengan perubahan zaman, budaya dan cara pikir, kini perempuan sudah keluar dari belenggu ranah domestic, bergerak ke ranah public.

Mau tidak mau, suka atau tidak, perempuan harus bekerja. Ini keharusan dan juga sebagai pilihan.  Bila perempuan tidak bekerja, dapur bisa tidak ngepul. Anak-anak bisa tidak bersekolah. Kebutuhan rumah tangga bisa selalu serba kurang dan bahkan bisa kelaparan. Karena suami yang seharusnya memikul tanggung jawab menafkahi dan memenuhi kebutuhan hidup seharai-hari banyak yang tidak mampu untuk bertanggung jawab.

Jadi persoalan ekonomi keluarga yang tidak cukup untuk menghidupkan keluarga telah mendorong perempuan bekerja. Istri terpaksa mencari nafkah, walau dikatakan sebagai tambahan.  Niat perempuan pun sangat mulia, menghdiupkan diri sendiri, menghidupkan anak-anak karena ditinggal mati atau cerai oleh suami. Juga bekerja apa saja yang bisa dilakukan untuk membantu suami, di berbagai sector, baik formal, maupun informal. Mulai dari membuat dan bejualan kue, menjadi pedagang sayuran, menjadi pembantu di rumah tangga orang sebagai tukang cuci dan masak dan sebagainya.  Mereka membuka usaha, mulai dari yang keci-kecilan, hingga usaha yang besar.  Sayangnya banyak suami yang tidak membantu isteri, seperti siteri terhadap suami.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun