Mohon tunggu...
Tabrani Yunis
Tabrani Yunis Mohon Tunggu... Guru - Tabrani Yunis adalah Direktur Center for Community Development and Education (CCDE) Banda Aceh, juga sebagai Chief editor majalah POTRET, majalah Anak Cerdas. Gemar menulis dan memfasilitasi berbagai training bagi kaum perempuan.

Tabrani Yunis adalah Direktur Center for Community Development and Education (CCDE) Banda Aceh, juga sebagai Chief editor majalah POTRET, majalah Anak Cerdas. Gemar menulis dan memfasilitasi berbagai training bagi kaum perempuan.

Selanjutnya

Tutup

Hukum Artikel Utama

Pemberantasan Korupsi yang Utopis

11 Desember 2019   00:46 Diperbarui: 11 Desember 2019   13:02 375
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: Shutterstock

Oleh Tabrani Yunis 

Cukup menarik membaca dan mengikuti berita-berita di media pada Senin, 9 Desember 2019. Pada hari itu, media massa di tanah air, baik cetak maupun daring, semuanya mengangkat masalah korupsi dan pemberantasan korupsi di tanah air tercinta ini.

Beberapa media yang bisa kita bisa cermati di antaranya harian Kompas edisi 09 Desember 2019. 

Harian ini di halaman depan menjadikan masalah korupsi sebagai headline, menampilkan judul yang bernada cemas, Korupsi Ancam Hak Publik. Bukan hanya di halaman depan, tetapi juga di halaman 3 rubrik Politik dan Hukum.

Media ini juga mengulas mengenai korupsi yang menaikkan judul Upaya Serius Melawan Ancaman Korupsi. 

Masih di media yang sama, KPK sendiri pasti tidak mau ketinggalan, bahkan menghabiskan 2 halaman untuk program sosialisasi atau kampanyenya dengan judul Bangun Sinergi, Ciptakan Inovasi Pencegahan Korupsi.

Pada tanggal 10 Desember 2019, harian Kompas di halaman 2, rubrik politik dan hukum, juga mengangkat sebuah tulisan yang berjudul Menakar Pidana Korupsi Kepala Daerah. 

Lebih menarik dan penting lagi, harian Kompas edisi 10 Desember 2019 ini masalah korupsi menjadi tajuk rencananya yang menyebutkan Antikorupsi Miskin Narasi.

Bukan hanya di harian Kompas, tetapi juga di surat kabar Republika. Harian Republika edisi 9 Desember 2019 di di halaman 2 mengangkat judul KPK: Korupsi Penyebab Kiamat Negara.

Kemudian pada terbitan edisi 10 Desember 2019, hari Republika malah menempatkan berita pemberantasan Korupsi sebagai headline dengan judul Pemberantasan Korupsi Dievaluasi.

foto dok. difoto dari ariana Kompas
foto dok. difoto dari ariana Kompas
Pokoknya, berita dan ulasan mengenai korupsi menjadi pemberitaan yang begitu actual dan meluas atau massal di media massa, mulai dari media nasional, hingga media daerah, hari ini memberitakan soal ancaman korupsi.

Bagi yang sempat menonton televisi, seperti halnya Kompas TV, pasti sempat menyaksikan aksi kocak tiga menteri Kabinet Indonesia Maju (KIM) masing-masing Erick Thohir, Nadiem Makarim dan Wisnutama bermain drama dalam peringatan hari Antikorupsi sedunia di SMK 57 Jakarta. 

Ya, semua ini, karena hari ini diperingati sebagai hari antikorupsi sedunia. 

Tentu saja, pemberitaan mengenai korupsi di media bukan hanya hari kemarin dan hari ini saja, tetapi selama ini pemberitaan mengenai topik korupsi tersebut mewarnai halaman media cetak dan media online. 

Pemberitaan yang bisa dikatakan setiap hari sejalan dengan banyaknya kasus korupsi yang melanda negeri ini. Indonesia, seakan menjadi surganya para koruptor. Tindak pidana korupsi terjadi di berbagai aras, sehingga sudah tidak terhitung lagi jumlahnya. 

Ya, sudah sangat banyak dan bahkan sangat sering kita membaca dan mendengar berita-berita mengenai tindak kejahatan korupsi di negeri tercinta ini. 

Bagaimana hiruk pikuknya berita kejahatan korupsi E- KTP? Bagaimana pula hebohnya kasus korupsi pengemplangan pajak? Bagaimana pula gemparnya kasus korupsi yang melibatkan kepala daerah, seperti halnya Gubernur, bupati atau walikota, hingga kepala desa.

Dari kelas kecil, hinggga kelas kakap. Dari korupsi E- KTP hingga dana-dana, barang, dan sebagainya yang segala macam.

Pendek kata, pemberitaan korupsi seperti berjalan seiring dengan berita-berita mengenai kasus narkoba yang tengah membinasakan generasi bangsa ini. Sungguh sangat mengerikan. 

Dikatakan demikian, karena fenomena dan realitas korupsi di negeri ini sangat menggurita. Korupsi terjadi di segala sektor dan tingkatan, dari kalangan pejabat tinggi di legislatif dan eksekutif, hingga ke level pemerintahan yang paling rendah yakni pemerintahan desa. 

Bahkan di level kepala desa, Kompas edisi 16 November 2019 memberitakan bahwa Indonesian Corruption Watch (ICW) mencatat, sepanjang 2015-2018 terdapat 252 kasus korupsi anggaran desa. Angka ini semakin meningkat dari tahun ke tahun. 

Pada 2015, kasus korupsi yang tercatat sebanyak 22 kasus. Temuan ini meningkat pada tahun berikutnya dengan 48 kasus. 

Adapun pada tahun 2017 dan 2018, jumlahnya bertambah hingga hampir dua kali lipatnya, yakni sebanyak 98 dan 96 kasus. Ini baru korupsi dana desa, belum lagi kasus-kasus korupsi kelas kakap yang membuat kita merasa gerah melihatnya. 

Karena begitu banyak uang negara yang dikorup, baik secara individu, maupun secara berjamaah. Jadi sudah sangat rusk. Padahal, pemerintah telah berupaya dengan berbagai cara uituk memberantas korupsi di tanah air. 

Wujud nyata dari upaya tersebut adalah dengan dibentuknya lembaga antirasuah atau antikorupsi, yakni KPK yang selama ini tampak begitu tajam taringnya. Terbukti, banyak orang kuat di negeri ini yang dijebloskan ke dalam tahanan atau hotel prodeo setelah melewati proses hukum. 

Namun, kasus korupsi seperti tidak pernah mampu diberantas. Walau KPK selama ini sangat sering melakukan aksi OTT dan menjerat para pejabat dengan kasus korupsi, tetapi korupsi tetap terjadi. Begitu parah bukan? 

Ya, memang sangat parah. Maka, tak dapat dipungkiri bahwa persoalan korupsi di negeri ini adalah masalah besar yang terus membesar. Dikatakan demikian karena tundak korupsi hingga kini belum bisa diberantas. 

Para koruptor, pengkhianat bangsa ini masih terus menjalan aksi mereka. Hal ini membuat pihak pemerintah sendiri dituntut harus dengan sungguh-sungguh melakukan upaya pemberantasan korupsi. Pihak pemerintah pun kelihatan begitu serius untuk memberantas korupsi di tanah air. 

Buktinya, adalah adanya KPK. Keberadaan KPK yang tampak begitu berani dalam menangani kasus korupsi di tanah air, telah memberi harapan akan berkurangnya kasus tindak pidana korupsi di tanah air. 

KPK kemudian bekerja dengan cepat untuk menumpas para koruptor, pengkhianat, penghancur, predator bangsa dan Negara tersebut. 

Namun, secara pelan-pelan, keberadaan KPK sendiri ditakuti oleh pemerintah karena seringnya KPK menangkap para pejabat yang menjadi pelaku korupsi. Sehingga harus dikontrol dan bahkan dikebiri perannya.

Banyak yang Aneh

Nah, di tengah harapan yang besar terhadap KPK untuk menjalankan tugas dan kewajibannya untuk memberantas korupsi di negeri ini, di sepanjang road map pemberantasan korupso di negeri ini, kita sebagai orang awam melihat dan merasa seperti banyak hal yang aneh-aneh terkait upaya pemberantasan korupsi. 

Betapa tidak, kasus korupsi yang menjadi musuh bersama bangsa, dimana para koruptor harusnya dihukum berat dan seberat-beratnya hingga ada yang mengajukan agar dihukum mati, kita sering merasa kaget, karena para narapidana korupsi yang kelas kakap pun bisa mendapat grasi dari Presiden. Padahal, dalam banyak kasus yang terbongkar menjadi berita, banyak koruptor yang merasa lebih nyaman berada di penjara. 

Bukan hanya itu, para koruptor yang dihukum 20 tahun, bisa menikmati grasi setiap tahun. Lebih aneh lagi, para koruptor yang sudah pernah dihukum karena tersandung kasus korupsi atas alasan-alasan yang tidak masuk akal, atau tidak rasional bisa kembali ke panggung politik. Aneh bukan? 

Ya, tentu sangat aneh dan membuat kita orang awam ini kehilangan akal sehat pula ketika melihat bagaimana orang-orang di pemerintahan bahkan di legislatif memperjuangkan agar mereka mantan koruptor bisa kembali ke panggung politik. 

Sungguh sangat tipisnya rasa malu mereka. Pantas saja, penjara yang mereka huni selama lebih dari 10 tahun tidak membawa efek jera bagi mereka. 

Maka, memberikan peluang kembali kepada para mantan koruptor untuk terjun ke pangung politik adalah sebuah bukti bahwa pemerintah kita, plin plan. 

Di satu sisi, memperlihatkan bahwa para koruptor patut dihukum, di pihak lain para koruptor perlu disikapi dengan santun. Nah, bila begini sikap dan tindakan pemerintah, maka jangan pernah bermimpi upaya pemberantasan korupsi di negeri ini bisa berjalan dan sukses. 

Bahkan yang terjadi adalah sebaliknya, orang malah bangga dan lebih memilih menjadi koruptor. Sebab, pemerintah lebih cenderung bersikap santun kepada koruptor. Jadi, pemberantasan korupsi akan menjadi sesuatu yang utopis.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun