Mohon tunggu...
Tabrani Yunis
Tabrani Yunis Mohon Tunggu... Guru - Tabrani Yunis adalah Direktur Center for Community Development and Education (CCDE) Banda Aceh, juga sebagai Chief editor majalah POTRET, majalah Anak Cerdas. Gemar menulis dan memfasilitasi berbagai training bagi kaum perempuan.

Tabrani Yunis adalah Direktur Center for Community Development and Education (CCDE) Banda Aceh, juga sebagai Chief editor majalah POTRET, majalah Anak Cerdas. Gemar menulis dan memfasilitasi berbagai training bagi kaum perempuan.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Tragedi Nol Buku Itu Berulang

23 September 2019   01:06 Diperbarui: 24 September 2019   18:10 135
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Minggu malam, tanggal 22 September 2019. Waktu sudah menunjukan pukul 22.00 WIB. Hasrat untuk menyeruput segelas kopi sanger Arabika Gayo dingin membuatku harus menuju sebuah warung kopi Gerobak Arabika yang tidak jauh dari POTRET Gallery, tempat usahaku mencari rezeki setiap hari.

Tidak jauh, buktinya aku hanya berjalan kaki, sekitar dua atau tiga menit ke warung tersebut. Mataku sebenarnya sudah merasa mengantuk, namun karena hari ini, belum minum kopi sejak dari pagi, aku memilih minum kopi, walau bukan kopi yang berat, karena sanger yang bercampur susu itu. 

Setiba di Gerobak, aku memesan kopi sanger dan melihat seorang sahabat yang juga sudah menjadi warga Kompasiana, Don Jakayamani, yang sering menulis di Kompasiana dengan genre tertentu.

Aku dan teman-teman memanggilnya dengan sebutan Jack. Aku duduk semeja dengannya, saling berhadapan. Kalau sudah duduk berhadapan, maka itu adalah kesempatan untuk saling ngobrol, saling diskusi. Karena sesungguhnya, salah satu fungsi warung kopi di Aceh adalah sebagai wadah berdiskusi atau saling berbicara dan bercerita dan sebagainya. 

Sebagai salah seorang yang memiliki perhatian atau concern mengenai literasi, maka diskusi yang menarik adalah mengenai literasi. Pembicaraan atau diskusi pun dimulai, tanpa ada kesepakatan dari kedua belah puhak, topik apa yang akan dibicarakan, siapa moderator dan sebagainya. Namun, aku lenih dahulu mengambil inisiatif untuk memulai diskusi dengan menceritakan soal minat membaca di kalangan mahasiswa yang umumnya saat ini tergolong dalam kategori generasi milenial.

Ya, berdasarkan pengalamanku yang sering berhadapan dengan para mahasiswa, banyak menemukan fakta bahwa mahasiswa yang saat ini dikenal sebagai generasi milenial itu memiliki minat membaca yang sangat rendah. Bayangkan saja, bila dalam sebuah ruang kuliah ada sebanyak 30 mahasiswa, laki-laki dan perempuan.

Lalu, kepada mereka kita tanyakan, " Siapa yang ada membaca hari ini?"

Kemudian jawaban yang kita dapatkan semua diam, semua menggeleng atau semua menjawab, tidak membaca, kecuali membaca status di facebook, instargram, atau paling banter membaca pesan di whatsapp.

Ini adalah fakta yang memilukan yang terjadi di tengah-tengah generasi milenial yang kita sebut sebagai generasi yang hebat, generasi yang melek internet, generasi yang hidup dalam banjir bandang informasi, tetapi tidak membaca. Sehingga, ketika kita bertanya kepada mereka tentang pengetahuan umum, tentang sejarah, bahkan geografi dan lain-lain, sangat sulit kita menemukan jawaban dari mereka.

Mereka umumnya tidak tahu dan tidak bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, walau pada tataran atau level pengetahuan lokal. Mengapa bisa begini? 

Jawabannya adalah karena mereka tidak membaca. Mereka tidak merasa perlu tahu soal-soal seperti itu, karena tidak bersinggungan dengan mata kuliah mereka. Kita bisa fahami.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun