Oleh Tabrani Yunis
Perempuan sepertiga baya itu melumat - lumat rindunya, menggelumpal-gelumpal tersangkut di angan. Jantungnya berguncang kencang diburu hasrat berkecamuk ingin bertatap. Diredamnya dengan derai gerimis di pelupuk matanya. Bagai embun di rerumputan. Sesekali mengalir ke lautan rindu. Kian rindu, kian mencekam.
Air matanya air mata air dari lubuk rindu, tenang, tak beriak, namun menerkam-nerkam dan gerimis.Â
Perempuan sepertiga baya itu menyeka-nyeka rindunya dengan air mata. Dibiarkannya hujan mengguyur pipinya. Rindu itu memang harus diobati dengan banjir air mata. Meluap dan menghanyutkan kepedihan dan duka, rindu akan mengalir perlahan dalam gerimis.
Gerimis di matanya, menghanyutkan luka rindu yang mendayu-dayu di kalbu. Gerimis di matanya, membasuh rindu yang terlanjur melekat di angan-angan dan halusinasi diri. Gerimis di matanya, membasuh kenangan luka, ditinggal usai pesta kenikmatan. Â Rindu itu, sakit nan tergores pada cinta yang terlanjur menguburÂ