Mohon tunggu...
Tabrani Yunis
Tabrani Yunis Mohon Tunggu... Guru - Tabrani Yunis adalah Direktur Center for Community Development and Education (CCDE) Banda Aceh, juga sebagai Chief editor majalah POTRET, majalah Anak Cerdas. Gemar menulis dan memfasilitasi berbagai training bagi kaum perempuan.

Tabrani Yunis adalah Direktur Center for Community Development and Education (CCDE) Banda Aceh, juga sebagai Chief editor majalah POTRET, majalah Anak Cerdas. Gemar menulis dan memfasilitasi berbagai training bagi kaum perempuan.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Menyemai Benih Cinta Bertani kepada Para Milenial

24 Mei 2019   17:40 Diperbarui: 24 Mei 2019   17:45 55
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dok. Pribadi Tabrani Yunis

Aku pernah bercita-cita untuk bersekolah di Sekolah Pertanian Menengah Atas (SPMA) Banda Aceh, setamat dari SMP di tahun 1979, namun gagal, karena ijazahku tidak dikembalikan saat mendaftar di SPG, Sekolah Pendidikan Guru yang menjadi alternative, kalau tidak lulus di SPMA. Ternyata, SPG yang bukan menjadi dambaan, nasib memaksa aku harus menggali ilmu di bidang pendidikan, untuk menjadi calon guru. Ya, begitulah kadang-kadang perjalanan hidup kita. Apa yang kita inginkan dan rencanakan, belum tentu bisa kita wujudkan. Seperti yang sering kita dengar ungkapan yang terkain adalah, kita bisa berencana, namun Tuhan lah yang menentukan. Realitas saat itu, aku tidak bisa menjadi calon penyuluh pertanian. Menjadi calon penyuluh pertanian, tinggal sebagai kenangan. 

Sebenarnya, apa yang membuatku tergila-gila, ingin bersekolah di SPMA, sekolah pertanian tersebut? Apakah aku kala itu sudah bisa membayangkan kalau menjadi penyuluh pertanian, akan mampu membuat sector pertanian menjadi maju? Apakah aku kala itu berfikir, kelak akan bisa membangun sector pertanian menjadi sector andalan yang dikerjakan dengan system modern, seperti sekarang ini? Jelas tidak. Namun, mengapa aku seakan sangat mencintai profesi di sector pertanian? Aku sendiri sebenarnya, juga pada masa kecil dulu, sehari-hari hidup dan bergelut di lahan pertanian, ke sawah, ke kebun serta ke ladang. Aku tahu dan merasakan bagaimana pahit getirnya bekerja sebagai petani, apalagi petani tradisional. 

Sejenak bernostalgia ke masa kecil, masa-masa belum memiliki pengetahuan dan perspektif yang jelas akan masa depan pekerjaan dan kehidupan, keinginan untuk menjadi tenaga penyuluh pertanian itu, datang dari luar diri. Motivasinya, bukan motivasi instristik, tetapi ekstrinsik. Kala itu, aku benar-benar terobsesi untuk menjadi penyuluh pertanian, karena pada tahun-tahun 1970-an hingga 1980 an, di kampung halamanku,  di kecamatan Manggeng,sering diputar film keliling, film tentang pertanian. Film-film layar tancap itu, menginspirasiku, setamat dari SMP akan melanjutkan pendidikan ke sekolah pertanian, agar bisa menjadi hebat seperti penyuluh pertanian dalam film tersebut. Sayangnya, impian tersebut terdampar dalam perjalanan nasib. Aku tidak boleh menyesal. Aku harus menerima kenyataan yang berbeda. Lalu, apakah kala itu, minat masyarakat untuk belajar tentang pertanian tinggi? 

Kelihatannya tidak. Ya, tidak begitu besar, walau banyak yang merasa bangga untuk menjadi insinyur pertanian dengan gelar Ir. Banyak yang berminat, namun kemudian hingga kini, minat orang tua dan generasi muda untuk menggeluti pekerjaan bertani dari waktu ke waktu terus menurun. Benar. Bukan saja minat anak-anak generasi muda, tetapi banyak orang tua yang mendidik anak-anak mereka untuk keluar dari profesi petani. Para orang tua bahkan berlomba-lomba untuk menyekolahkan anak-anak mereka ke jurusan atau bidang-bidang lain, selain pertanian.  Orang tua lebih memilih profesi lain, selain petani.

Paling kurang, anak-anak mereka bisa menjadi guru. Oleh sebab itu, anak-anak mereka dibiayai untuk kuliah di lembaga pendidikan tenaga keguruan ( LPTK) atau di Fakultas keguruan dan pendidikan (FKIP).Seakan mereka menyampaikan pesan kepada anak-anak mereka, agar tidak menjadi petani seperti orang tua sendiri. Sektor tani seakan kehilangan masa depan. Sektor pertanian menjadi sector yang tidak menjanjikan, tidak memiliki prospek yang cerah. Mengapa demikian? 

Tentu banyak hal yang membuat pilihan pendidikan dan karir di luar sector pertanian tersebut. Banyak fakta dan factor yang menyurutkan minat orang tua dan generasi muda terhadap sector pertanian tersebut. Beberapa diantaranya, pertama adalah realitas kemiskinan. Bila kita telusuri angka kemiskinan yang ada dalam data statistic kita, data BPS 2017, penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan ada sebesar 26.58 juta jiwa atau 10.12 persen. Dari jumlah sebesar itu, angka kemiskinan itu banyak menumpuk di desa, di daerah yang penduduknya hidup di sector pertanian. Fakta ini, di era sekarang ini, menjadi indicator bahwa memilih profesi di bidang pertanian, tidak akan membuat hidup menjadi labih baik. Malah, banyak yang terpuruk dalam kemiskinan.

Faktor kedua, orientasi dalam memilih pekerjaan, masyarakat kita masih belum bisa meninggalkan mimpi menjadi amtenar, menjadi PNS atau ASN. Banyak sekali bukti terhadap kecendrungan ini. Setiap tahun, berbondong-bondong orang mengejar dan mengincar kesempatan kerja di pemerintah. Banyak yang sudah bertahun-tahun dan berkali-kali gagal, namun terus mengejar. Karena itu dianggap lebih menjamin. Jadi, ada paradigm berfikir yang menyatakan bahwa kalau ingin mengubah nasib lebih baik dan terjamin, bekerjalah di pemerintahan.

Paradigm berfikir semacam ini sudah lama mengkristal dan sulit dipecahkan, tetapi harus segera dicairkan agar paradigm ini bisa berubah dan memudahkan langkah, apabila ingin melakukan regenerasi petani. Selain itu, fakta mengenaskan adalah ketika para petani kita selama ini berada dalam keadaan yang tidak berdaya, tidak memiliki daya tawar dan bahkan tidak memiliki kedaulatan atas produk pertanian yang mereka produksikan. Begitulah realitasnya dan ini adalah tantangan berat yang harus dihadapi. 

Kiranya, semua kita tahu dan sadar, bahwa saat ini kita sedang hidup dalam era kemajuan teknologi digital dan bahkan berada di ambang teknologi 4.0 dengan populasinya adalah kaum generasi milenial, generasi Z dan bahkan ke depan adalah generasi A yang pola hidup mereka jauh berbeda dan memiliki cara yang berbeda dengan generasi baby boomer. Oleh sebab itu, selayaknya kita bertanya, bagaimana dengan generasi milenial, generasi Z dan bahkan generasi A mendatang? Akankah mereka kembali menggeluti dan melanjutkan hidup di sector pertanian, atau sebaliknya meninggalkan sector yang sangat vital ini?  Inilah beberapa pertanyaan yang sebaiknya dijawab oleh semua pihak yang ingin membangun sector pertanian yang beradab dan menguntungkan generasi kini. 

Agar proses regenerasi petani di kalangan generasi milenial, generasi Z dan bahkan generasi A mendatang, semua pihak harus mau dan mampu memahami pola dan gaya hidup kaum milenial saat ini.  Ini penting, karena seperti yang kita saksikan sekarang begitu banyak perubahan perilaku yang terjadi di kalangan kaum milenial yang kebanyakan dari mereka sudah meninggalkan sector pertanian, terutama pertanian konvensional dan atau tradisional yang terkesan tidak membuat mereka menjadi orang yang kaya dan bergengsi. Untuk itu diperlukan langkah-langkah analisis mendalam tentang generasi milenial dan tantangannya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun