Mohon tunggu...
Tabrani Yunis
Tabrani Yunis Mohon Tunggu... Guru - Tabrani Yunis adalah Direktur Center for Community Development and Education (CCDE) Banda Aceh, juga sebagai Chief editor majalah POTRET, majalah Anak Cerdas. Gemar menulis dan memfasilitasi berbagai training bagi kaum perempuan.

Tabrani Yunis adalah Direktur Center for Community Development and Education (CCDE) Banda Aceh, juga sebagai Chief editor majalah POTRET, majalah Anak Cerdas. Gemar menulis dan memfasilitasi berbagai training bagi kaum perempuan.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Mahasiswa "Zaman Now" Memang Beda?

25 Januari 2018   00:39 Diperbarui: 25 Januari 2018   01:07 2800
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sejumlah dosen di sebuah Universitas Negeri, sebut saja di negeri antah berantah sedang sibuk mengisi nilai untuk semester ganjil yang sudah berakhir. Sejalan dengan perkembangan zaman, perkembangan teknologi informasi yang semakin canggih, pengisian nilai oleh setiap dosen dilakukan lewat portal Universitas tersebut. Tentu saja, karena system pengisian nilai lewat portal, usai diisi dosen, hasil ujian  atau nilai bisa langsung  diakses oleh para mahasiswa. Begitu mudahnya sekarang cara mahasiswa zaman now mencari informasi tentang hasil atau nilai ujian setelah ujian final di akhir semester itu. Berbeda sekali dengan mahasiswa yang kuliah di zaman old, ya zaman dahulu di tahun-tahun 1980 an hingga 2000 an. 

Untuk mengetahui berapa nilai atau ingin tahu berapa IPK, harus menunggu lama setelah KHS selesai. Dengan cara ini, mahasiswa tidak langsung tahu hasilnya. Dosen pun tidak repot dibuat oleh para mahasiswa yang mendapat nilai kurang, atau cukup. Mahasiswa pun kala itu tidak berani dan tidak mau protes kepada dosennya. Sekarang?

Nah, sekarang memang beda. Sangat berbeda, sejalan dengan berbedanya media penyampaian hasil ujian yang kini sangat terbuka dan cepat saji itu. Banyak dosen yang terheran-heran dengan perilaku dan cara mahasiswa menyikapi hasil ujian atau nilai yang sudah diberikan kepada mahasiswa tersebut. Konsekwensi dari perubahan dari system penyampaian informasi nilai tersebut adalah bertambah repotnya para dosen yang mengisi nilai. Apa yang membuat para dosen tersebut terkejut dan terheran-heran?

Ternyata banyak mahasiswa zaman now, sudah tidak segan-segan lagi menghubungi dosen yang mengasuh mata kuliah. Menghubungi dosen untuk menyampaikan protes terhadap nilai yang ia dapatkan. Protes yang bisa disampaikan dengan menggunakan fasilitas SMS, lewat pesan di Whatsapp, atau bahkan ada yang berani menelpon langsung. Pesannya pun ada macam-macam. Ada yang dengan cara sopan, ada pula yang lantang. Berikut adalah beberapa contoh pesan yang mereka sampaikan lewat pesan di WA. " Assalamualaikum Pak. Saya mahasiswa semester pulan, nama saya pulin dengan nomor mahasiswa saya adalah sekian-sekian. Saya mendapat nilai B untuk mata kuliah yang bapak asuh, bisa nggak saya da[pat A. Soalnya mata kuliah lain saya dapat C. Jadi untuk menutupi nilai C itu, saya butuh nilai A dari mata kuliah Bapak. Supaya IP saya tetap 3 Pak. Mohon keringanannnya pak".

Mahasiswa yang lain, menyampaikan pesannya lewat WA dengan terus terang menyampaikan protes seperti berikut ini. " Assalamualaikum wr.wb.  Sebelumnya saya minta maaf pak. Nama saya pulan, NIM sekian. Saya mau protes dengan nilai yang sudah Bapak berikan, tapi saya sebelumnya, saya banyak ucapkan terima kasih, karena bapak dengan sabat  mengajari saya. Saya mau ptotes Pak, kenapa nilai saya B. Saya lihat teman saya yang banyak main di pelajaran bapak, dapat A. Saya selalu duduk di depan waktu pelajaran bapak, saya selalu memperhatikan dan saya sering menjawab pertanyaan Bapak. Saya juga beberapa kali mendapat hadiah majalah dari bapak, karena saya membaca, tapi kenapa nilai saya B? Semoga Bapak bisa mempertimbangkan keputusan yang akan diambil nantinya. Terima kasih. Wassalam.

Pesan-pesan seperti di atas, banyak diterima oleh para dosen. Dosen pun ada yang menyikapi dengan cara-cara yang berbeda. Ada yang dengan senang hati menanggapinya dan mengubah, atau sebaliknya tetap pada prinsip tidak mengubahnya. Bahkan ada yang kaget, sambil  bertanya, mengapa berani sekali mahasiswa meminta nilai dan sebagainya. Para dosen mungkin tidak tahu bahwa ini adalah contoh mahasiswa zaman now. Kebanyakan mahasiswa zaman now, yang dikejar adalah nilai. Nilai adalah tujuan dari kuliahnya, bukan pada penguasaan materi yang diajarkan. Yang paling penting adalah nilai tertinggi, kalau tidak bisa atau tidak menguasai bahan ajaran, itu urusan lain. Jadi mahasiswa zaman Now memang banyak mengalami distorsi dan disorientasi,  Ingin punya nilai yang tinggi, tetapi hasil ujian tidak mencukupi, lalu dengan sangat berani, tanpa malu-malu meminta bantu pada dosen agar dosen menguabah hasil penilaiannya. Kacau bukan?

Memang kacau. Namun ada lagi yang lebih kacau. Pernah seorang dosen menerima sepucuk surat dari orang tua mahasiswanya. Surat itu dikirimkan kepada sang dosen yang memprotes dosennya karena anaknya mendapat nilai yang rendah. Orang tua atau walinya ini, bukan saja mengirimkan surat kepada sang dosen, bahkan surat itu juga dialamatkan ke Fakultas. Untungnya pihak fakultas bersikap bijak. Soal nilai adalah wewenang dari dosen. Jadi pimpinan fakultas tidak bisa memaksa dosennya untuk mengubah nilai tersebut. Jadi, sangat rusak bukan?

Kurang Membaca

Menjadi mahasiswa zaman Now, zaman yang semakin modern dan canggih ini, idealnya para mahasiswa itu semakin rajin dan banyak membaca. Bukan saja membaca bahan dari mata kuliah yang sedang diikuti, tetapi juga membaca segala informasi yang sedang berserakan di dunia nyata dan di dunia maya. Namun dalam realiltas yang ada, berdasarkan hasil survey langsung di ruang kuliah, dari Sembilan ruang belajar  para mahasiswa yang pernah penulis tanyakan,  kurang dari 10 persen di antara sekitar 300 mahasiswa yang ada membaca surat kabar atau majalah. Selebihnya tidak membaca.  Jadi sangat memprihatinkan bukan? Tentu saja sangat memprihatinkan di zaman now ini.

Pertanyaannya, kalau mahasiswa jarang atai tidak membaca, apa makna kuliah yang sedang mereka ikuti? Bila mereka, sebagai mahasiswa tidak membaca apa yang akan mereka peroleh dari proses kuliah yang nereka ikuti?  Bila mahasiswa tidak atau sangat kurang membaca, maka pertanyaan lanjutan kita adalah bagaimana mereka bisa memperoleh nilai atau IPK tinggi? Bukankah kalau mahasiswa kurang membaca, akan  meperlihatkan secara nyata kualitas mereka? Misalnya mendapat nilai C atau bahkan di bawah nilai C. Tidak dapat dipungkiri bahwa ketika mahasiswa malas atau tidak membaca, hasil tulisan mereka pada lembaran jawaban juga akan sangat singkat dan tidak teratur. Lalu, kalau  hasil penilaiannya rendah, karena memang karena kurang membaca, apakah layak mendapat nilai A?

Selayaknya, kebiasaan menepon dosen, SMS atau pesan lewat Whatsapp minta diubah nilai itu dihentikan. Ini jelas tidak elok dan tidak memiliki prestise yang membanggakan kita.  Mahasiswa kita tidak bokeh kehilangan oriebtasi kuliah tersebut. Oleh sebab itu, perlu ada upaya untuk meningkatkan  day abaca para mahasiswa, sehingga akan mampu memberikan respon terhadap pertanyaan yang diajukan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun