Mohon tunggu...
Tabrani Yunis
Tabrani Yunis Mohon Tunggu... Guru - Tabrani Yunis adalah Direktur Center for Community Development and Education (CCDE) Banda Aceh, juga sebagai Chief editor majalah POTRET, majalah Anak Cerdas. Gemar menulis dan memfasilitasi berbagai training bagi kaum perempuan.

Tabrani Yunis adalah Direktur Center for Community Development and Education (CCDE) Banda Aceh, juga sebagai Chief editor majalah POTRET, majalah Anak Cerdas. Gemar menulis dan memfasilitasi berbagai training bagi kaum perempuan.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Literasi itu Kebutuhan Primer

27 Oktober 2017   21:37 Diperbarui: 27 Oktober 2017   22:58 1318
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Oleh Tabrani Yunis

Tadi pagi, sekitar pukul 10.00 WIB, menjelang pelaksanaan salat Jumat, aku menerima panggilan telepon dari Metro TV Aceh. " Pak Tabrani Yunis, apa kabar? Ada di Banda Aceh, kan? " Ya, ada jawabku. Kebetulan hari ini aku tidak melakukan perjalanan ke sekolah-sekolah untuk mengajak dan membimbing anak-anak SD berkarya dan mengirimkan karya mereka ke majalah Anak Cerdas yang aku terbitkan. Mengapa? Tanyaku. Ia pun melanjutkan pembicaraan. " Kita talshow hari ini mengenai literasi pak. Semoga Bapak ada waktu, lanjutnya.

Nah, karena pembicaraan atau perbincangannya mengenai literasi, sebagai orang yang giat melakukan kampanye dan kegiatan literasi, maka tanpa berfikir panjang, aku sahuti. Lalu, aku bertanya "  selain aku, siapa lagi yang akan menjadi nara sumbernya?. Hmmm, dengan Pak Zulkifli, Kepala Dinas Arsip dan Perpustakaan Provinsi Aceh pada pukul 14.30 WIB.  Wow, itu menarik sekali, kataku lagi. Aku akan berada di studio pada pukul 14.15 WIB ya. Kataku. Ya, aku tiba di stasiun Metro TV tepat pada pukul 14.15 WIB. Duduk sebentar di ruang tamu, lalu dipanggil untuk make up sedikit. Katanya, ya agar mukanya tidak mengkilap sekali. Benar saja ya, mukaku memang agak berminyak, tetapi bukan karena aku punya pabrik minyak kelapa atau minyak sawit, tetapi memang sudah menjadi type kulit mukaku berminyak. Lagi pula make up sebelum tampil di TV tersebut memang dilakukan untuk semua orang.

Memasuki ruang studio, aku duduk di tengah. Biasanya, aku lebih suka duduk di pinggir. Hari ini dapat posisi duduk di tengah, dekat dengan pembawa acara. Kebetulan, kesempatan pertama berbicara diberikan kepada Pak Zulkufli. Aku menyimak apa yang dijelaskan beliau. Baru setelah ia selesai bicara, pembawa acara melanjutkan kepadaku dengan meminta pendapatku mengenai minat baca di Indonesia dan di Aceh khususnya. Pak Zulkifli sendiri sudah menjelaskan tentang posisi atau peringkat Indonesia di bidang literasi yang berada pada posisi 60 itu, serta kondisi literasi di Aceh yahg katanya, minat baca di Aceh juga tergolong sangat rendah.

img-2049-1-jpg-59f34303ff240560744e58d2.jpg
img-2049-1-jpg-59f34303ff240560744e58d2.jpg
Aku membenarkan apa yang dijelaskan Pak Zulkifli tersebut, sembari berkata bahwa ini adalah realitas  yang ironis dengan bangsa kita dalam hal literasi. Sebenarnya tidak layak kita berada di posisi itu. Namun, apa mau dikata, dalam banyak literasi, membuktikan bahwa budaya membaca dan menulis yang menjadi ranahnya literasi di negeri ini memang masih rendah. Bangsa kita secara budaya, lebih cendrung menganut budaya tutur. Buktinya, kalau bercerita, bisa menghabiskan waktu yang cukup lama. Dalam konteks Aceh, kita bisa lihat apa yang dilakukan oleh banyak orang yang menghabiskan waktu mereka di warung kopi. Mereka duduk  bercakap-cakap hingga berjam-jam lamanya. Apalagi saat ini, era digital yang semakin melalaukan kita itu, mereka malah masing-masing sibuk dengan HP sendiri. Walau sebelumnya, berjanji bertemu di warung kopi untuk membicarakan sesuatu. Namun, mereka masing-masing sibuk SMS, WA dan bahkan facebook-an. Pokoknya, kegiatan membaca dan menulis, memang sesuatu yang jauh dari sebuah kebiasaan atau tidak membudaya. Kalau pun ada kegiatan membaca di warung kopi adalah membaca koran atau surat kabar yang kadang-kadang lebih cendrung membaca judul-judul besarnya saja. Kalau membaca artikel atau rubric opini, tampaknya hanya sekedar melirik saja.

Ya, minat baca masyarakat kita di Indonesia memang tergolong rendah, apalagi minat menulis. Pasti jauh lebih rendah. Seharusnya, hal ini tidak boleh terjadi di Indonesia, apalagi di Aceh yang penduduknya adalah mayoritas muslim. Bagi kaum muslim, membaca itu adalah sebuah kewajiban. Dikatakan sebagai sebuah kewajiban, karena umat Islam mendapat perintah dari Allah untuk membaca. Allah, lewat perantara Jibril memerintah Nabi Muhammad untuk " Iqra", ya bacalah. Sebuah perintah yang tertinggi dari Allah. Dari perintah itu, membuktikan bahwa perintah Allah yang pertama kepada nabi Muhammad SAW,  agar Rasulullah membaca, yang kita kenal dengan Iqra itu. Allah, malah tidak memerintahkan umat Islam untuk melakukan salat dulu, tetapi membaca dulu. Tentu saja, Allah Maha mengetahui apa yang diperintahkan. Dengan demikian, Allah telah memberikan petunjuk kepada umat Islam, bahwa membaca itu adalah pintu masuk ke dunia ilmu. Pintu dan bahkan alat atau cara untuk memperoleh dan meningkatkan ilmu pengetahuan umat Islam akan segala hal yang ada di permukaan bumi ini. Umat Islam yang berkualitas prima itu adalah umat Islam yang memiliki minat baca, daya baca dan budaya baca yang tinggi. Ya berkualitas tinggi.

img-2050-jpg-59f3434012ae94121135f342.jpg
img-2050-jpg-59f3434012ae94121135f342.jpg
Maka, bila kita mampu dan mau memahami lebih jauh akan perintah Iqra itu, bila kita kembali kepada hakikat manusia sebagai khalifah di muka bumi ini. Sebagai makluk ciptaan Allah yang sempurna, maka manusia secara umum, memang harus membaca, karena manusia ketika dilahirkan tidak langsung bisa makan, minum, berjalan seperti halnya hewan yang memiliki insting. Manusia harus melawati tahapan-tahapan belajar. Manusia kalau mau hidup, ya harus bisa membaca, menguasai literasi, agar bisa hidup sebagai manusia yang sempurna. Dalam konteks Negara pun, bila kita mengacu kepada alenia ke empat UUD 1945, menyatakan sebagai berikut " Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu pemerintah negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dan seterusnya.

Dari tujuan Negara tersebut, ke empat tujuan membutuhkan adanya proses pendidikan yang berkualitas. Apalagi secara lebih spesifik di bidang pendidikan, kita bisa simak lebih jauh tentang rumusan  tujuan Pendidikan Nasional. Sebagaimana kita ketahui bahwa tujuan Pendidikan Naasional adalah mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indoensia seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan keterampilan, kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri serta rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan.

Menyimak dan menganalisis tujuan yang tertuang di dalam pembukaan UUD 1945 dan tujuan pendidikan nasional, maka strategi untuk mencapai tujuan itu adalah melalui proses  pendidikan yang mencerdaskan. Untuk bisa mencerdaskan, kunci untuk meningkatkan kualitas bangsa yang cerdas adalah membaca. Artinya proses pendidikan tidak akan bisa berkualitas bagus, apa bila anak-anak bangsa ini malas membaca. Bangsa yang bisa cerdas, maju dan sejahtera adalah bangsa yang rajin membaca, bangsa yang membudayakan membaca dalam kehidupan mereka. Kita sudah banyak membaca pengalaman Negara-negara yang maju dan makmur itu. Bukankah bangsa Jepang, Tiongkok, Korea dan Negara maju di Eropa seperti Finlandia dan Negara-negara lain di belahan dunia, telah membuktikan bahwa mereka menjadi maju, sejahtera dan makmur karena mereka rajin dan banyak membaca? Ya, mereka sudah lebih dahulu bangkit dan sadar bahwa dengan rajin dan banyak membaca, mereka bisa meningkatkan kualitas bangsa. Sementara kita di Indonesia, sepertinya semakin meninggalkan budaya membaca. Apalagi saat ini ketika teknologi komunikasi seperti gadget telah membuat masyarakat kita semakin aneh dalm membaca. Kebanyak masyarakat kita membaca dalam keadaan tidak tuntas, tidak menganalisis, seperti membaca SMS, chatting di WA dan malah lebih suka dengan hal-hal yang bersifat hoax.

Kiranya, pemerintah lewat pembangunan pendidikan, harus menata kembali masalah literas ini, bila tidak ingin bangsa ini menjadi pecundang. Kalau ingin bangsa ini menjadi bangsa pemenang, maka kunci utama untuk pembangunan bangsa adalah membangun gerakan membaca, membangun gerakan literasi.  Pemerintah harus lebih serius memperhatikan kegiatan literasi dengan berbagai strategi. Tidak cukup dengan slogan-slogan " membaca adalah jendela ilmu", membaca membuat kita cerdas, yang ditulis di spanduk-spanduk atau di gerbang sekolah bila tidak ada upaya untuk membangun kesadaran bangsa ini untuk rajin membangun literasi. Pemerintah tidak hanya cukup dengan berkoar-koar seperti iklan layanan masyarakat mengajak masyarakat atau rakyat membaca, bila pemerintah tidak menyediakan fasiltas membaca yang menarik dan berkualitas, sesuai dengan ketertarikan masyarakat. Oleh sebab itu, mau tidak mau, pemerintah memang harus menyediakan sarana atau fasilitas membaca dan menulis yang lebih banyak. Bukan hanya itu, pemerintah lewat lintas departemen harus bersinergi membangun gerakan literasi.

img-2052-jpg-59f343a1f33a2d31c24bb5f2.jpg
img-2052-jpg-59f343a1f33a2d31c24bb5f2.jpg
Tentu saja, langkah pertama yang harus dijalankan adalah dengan memulai meningkatkan minat baca pada level keluarga. Jadikan keluarga sebagai sekolah pertama untuk membangun budaya literasi. Orang tua harus dijadikan sebagai  model dalam membaca. Lalu, sekolah-sekolah atau lembaga pendidikan formal, harus secara intensif melakukan kegiatan membaca dan menulis. Agar budaya membaca dan menulis di sekolah bisa tumbuh dan berkembang, maka guru-guru di sekolah harus menjadi model dalam membangun gerakan literasi. Sementara para ulama, pemuka agama, dan lain-lain harus juga dilibatkan dalam melaksanakan kegiatan keagamaan yang secara bersama-sama bergerak membangun dan membudayakan membaca dan menulis lewat startegi yang dimiliki masing-masing. Untuk itu, kepada masyarakat harus disampaikan dan bahkan menjadi doktrin bahwa literasi itu adalah kebutuhan primer, bukan hobi, bukan pula sekunder, kalau ingin bangsa ini menjadi bangsa yang maju dan cerdas. Sekali lahi, dengan bersinergi, dengan hati nurani dan sungguh-sungguh dalam membangun gerakan literasi, maka bangsa ini akan menjadi bangsa pemenang, bukan pecundang.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun