Mohon tunggu...
Tabrani Yunis
Tabrani Yunis Mohon Tunggu... Guru - Tabrani Yunis adalah Direktur Center for Community Development and Education (CCDE) Banda Aceh, juga sebagai Chief editor majalah POTRET, majalah Anak Cerdas. Gemar menulis dan memfasilitasi berbagai training bagi kaum perempuan.

Tabrani Yunis adalah Direktur Center for Community Development and Education (CCDE) Banda Aceh, juga sebagai Chief editor majalah POTRET, majalah Anak Cerdas. Gemar menulis dan memfasilitasi berbagai training bagi kaum perempuan.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Nayla Bisa Berbahasa Inggris, Tapi Nilainya 30

7 November 2015   00:16 Diperbarui: 7 November 2015   08:00 1499
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="belajar bahasa Inggris sejak dini, bagaimana baiknya?"][/caption]Sepulang sekolah hari ini, Ananda Nayla, anakku yang masih duduk di kelas I SD menerima rapor ujian tengah semester (UTS). Ini adalah rapornya yang pertama, yang diserahkan oleh wali kelasnya kepadaku tadi siang. Wali kelasnya membuka rapor Nayla dan menjelaskan kepadaku. Ibu wali kelas menyampaikan kepadaku ada 4 mata pelajaran yang masih belum tuntas, masing-masing  pelajaran aqidah akhlak, fikih, matematika dan bahasa Inggris. Aku mengangguk-angguk ketika menerima penjelasn wali kelasnya itu.

Ya, aku tidak berkomentar dan tidak keberatan sama sekali ketika tiga mata pelajaran yakni Aqidah-akhlak, fiqih dan matematika itu tidak tuntas. Karena aku maklum atau faham benar bahwa anakku Nayla kelas I masih belum lancar membaca serta kali, bagi, tambah kurang, yakni untuk pelajaran matematika itu. Namun, yang menjadi pertanyaanku adalah ketika pelajaran bahasa Inggris yang menjadi pelajaran ke empat yang tidak tuntas. Nayla mendapat nilai 30. Hmmm, nilai itu adalah nilai angka yang tidak lulus. Nilai itu akan sangat berpengaruh terhadap akumulasi nilai rata-rata nantinya.

Sebenarnya, aku tidak suka dengan angka-angka rapor. Artinya, aku tidak suka prinsip belajar bagi anakku dan bahkan aku belajar mengejar angka. Misalnya, aku harus dapat angka tinggi, seperti halnya angka 8, 9, atau huruf A atau B. Yang paling penting bagiku adalah anakku bisa dan mampu memberikan jawaban yang orisinal bila aku tanyakan ia sesuatu terkait dengan pelajarannya. Misalnya, kalau ia mendapat nilai bahasa Inggris dengan angka 80, maka ia harus bisa menggunakan bahasa Inggris. Ia mampu berkomunikasi dalam bahasa Inggris. Bila ia mampu berkomunikasi adalam bahasa Inggris, maka dia layak mendapat nilai 80 atau 90. Bagiku itu nilainya memang bermakna. Akan tetapi, bila nilai bahasa Inggrisnya 90 dan ketika ditanya sesuatu dalam bahasa Inggris, ia tidak mengerti dan tidak mampu menjawab pertanyaan, maka apa artinya nilai 90 itu baginya?

Lalu, apa pula yang salah dengan nilai bahasa Inggris Nayla yang ternyata hanya mendapat nilai 30 itu? Apakah nilai 30 tersebut menjadi sebagai indikator atau alat ukur yang menyatakan bahwa Nayla tidak mengerti dan tidak bisa berbahasa Inggris? Aku menjawab, itu tidak bisa menjadi tolok ukur bagi kemampuan bahasa Inggris Nayla. Angka itu secara fakta, tidak mewakili kemampuan berbahasa Inggris Nayla. Ya, tentu ini menurut perspektif aku, bukan perspektif guru bahasa Inggrisnya. Ya, akan sangat berbeda. Aku yakin bahwa nilai bahasa Inggris Nayla yang hanya 30 itu dan dinyatakan tidak tuntas itu, mempunyai alat ukur yang berbeda dengan apa yang ada di dalam pikiranku.

Oleh sebab itu, ketika wali kelasnya memberikan penjelasan kepadaku tentang nilai bahasa Inggris Nayla yang 30 dan dinyatakan tidak tuntas itu, aku hanya mengingatkan kepada beliau bahwa untuk pelajaran bahasa Inggris di kelas I itu, seharusnya tidak menilai kemampuan anak membaca dan menulis dalam bahasa Inggris, karena anak-anak kelas I itu rata-rata belum lancar membaca dan menulis. Untuk anak-anak kelas I yang belum lancar dan menulis bahasa Indonesia, akan sangat kesulitan membaca dan menulis dalam bahasa Inggris. Ini adalah hal yang harus diperhatikan oleh sekolah yang menerapkan pembelajaran bahasa Inggris sejak kelas I SD.

Sebaiknya, pembelajaran bahasa Inggris di kelas I itu hanya pengenalan kata atau vocabulary, bermain dan bernyanyi dalam bahasa Inggris. Itu saja cukup. Tidak perlu membaca dan menulis. Karena pada usia kelas I SD ini umumnya anak belum lancar membaca bahasa Indonesia. Lalu, apa jadinya kalau anak membaca dan menulis dalam bahasa Inggris? Pasti anak-anak tidak mampu membaca dan menulisnya. Karena kata dalam bahasa Inggris itu, lain dibaca, lain ditulis. Maka, bila dalam ujian tersebut anak-anak diukur kemampuan bahasa Inggrisnya dengan membaca dan menulis, wajarlah ia dapat nilai 30.

Padahal, Nayla dalam kesehariannya di rumah, ia berkomunikasi dengan ayah dan adiknya dalam bahasa Inggris. Ia sudah menggunakan bahasa Inggris sejak masih bayi. Secara gramatika, bahasa Inggrisnya pun sangat bagus. Kelemahannya adalah dia tidak berani maju berbicara di depan kawan-kawannya di kelas, atau ketika ia diminta berbicara bahasa Inggris di depan orang banyak. Ia belum percaya diri dan masih malu. Sehingga, di sekolah kemampuan bahasa Inggrisnya yang bisa lebih baik dari teman-teman sekelasnya, menjadi hilang.

Nah, inilah sebabnya dulu aku menulis agar orang tua berhat-hati terhadap anak-anak mereka yang belajar bahasa Inggris di kelas I SD. Sebab, pembelajaran bahasa Inggris di kelas I itu akan membuat anak malah membenci bahasa Inggris, karena mereka akan merasa sangat sulit saat diajarkan membaca dan menulis. Kiranya, agar tidak terjadi mal praktek pembelajaran bahasa Inggris di kelas I SD, maka model pembelajaran bahasa Inggris di kelas I SD harus melihat kemampuan membaca anak-anak.

Kalau anak-anak kelasa I sudah lancar sekali membaca dan menulis dalam bahasa Indonesi, lalu diberikan pembelajaran bahasa Inggris dengan kegiatan membaca dan menulis, mungkin tidak terlalu masalah. Namun, harus selalu waspada dengan metodologi pembelajaran bahasa Inggris di tingkat ini.

Mungkin, banyak orang tua akan menolak nilai 30 itu, karena anaknya setiap hari dan setiap saat berbahasa Inggris. Apalagi kalau orang tua berorientasi belajar mengejar angka. Pasti akan sangat berang. Hmm, semoga ini menjadi pelajaran bagi kita.

 

Banda Aceh, 6 November 2015

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun