Mohon tunggu...
Tabrani Yunis
Tabrani Yunis Mohon Tunggu... Guru - Tabrani Yunis adalah Direktur Center for Community Development and Education (CCDE) Banda Aceh, juga sebagai Chief editor majalah POTRET, majalah Anak Cerdas. Gemar menulis dan memfasilitasi berbagai training bagi kaum perempuan.

Tabrani Yunis adalah Direktur Center for Community Development and Education (CCDE) Banda Aceh, juga sebagai Chief editor majalah POTRET, majalah Anak Cerdas. Gemar menulis dan memfasilitasi berbagai training bagi kaum perempuan.

Selanjutnya

Tutup

Money

Untunglah Timor Leste Tidak Menggunakan Rupiah

7 September 2015   19:19 Diperbarui: 8 September 2015   11:13 3913
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

 

Oleh Tabrani Yunis

Melihat fenomena dan realitas naiknya nilai tukar rupiah terhadap dolar yang mencaopi angka Rp 14.200 per dolar saat ini, mengingatkan saya pada sebuah negara kecil yang baru lepas dari pangukuan Indonesia, yakni Timor Leste ( dulu Timor Timur atau Timtim) yang menjadi provinsi termuda saat itu. Apa yang mengingatkan saya pada Timor Leste adalah kesan pertama, ketika saya akan landing dengan pesawat Merpati yang mengantarkan saya ke negerinya Ramos Horta tersebut pada bulan September 2012 lalu. Dari atas pesawat, saya melihat di sekitar bandara Dili, kesan pertama muncul adalah potret wajah sebuah negara yang miskin. Kemiskinan pertama itu terlihat pada bandaranya, yang menjadi bandara Internasional itu. Bandara Internasional Dili itu yang ukurannya tampak kecil, sepi dari pesawa,. Tidak seperti bandara Internasional lainnya. Tidak terlihat banyak fasilitas yang mewah.

Kesan yang kedua, kala keluar dari bandara Dili adalah ketika melewati jalan-jalan di kota ini yang berdebu. Infra struktur jalan yang ada di kota ini tampak miskin. Jalan-jalan yang dilewati masih tampak berdebu dan tidak seperti jalan-jalan di kota besar di Indonesia. Wajar saja, karena mereka baru merdeka. Kondisi semacam ini adalah pemandangan yang biasa. Bukan saja jalan-jalan yang masih dalam keadaan minim, tetapi kita tidak melihat banyak bangunan tinggi, apalagi menjulang dan megah. Ada mall, tetapi masih sangat sedikit. Boleh dikatakan hanya ada satu mall yang agak besar.

[caption caption="Kering kerontang"]

[/caption]

 

Kering kerontang adalah wajah Dili yang saya lihat pada saat itu. Bukit-bukit kering berbatu itulah wajah bukit-bukit yang kulihat di kota Dili. Bukan hanya itu, sungai sungai kecil yang ada di kota Dili, tampak kering kerontang. Bahkan sungai Comoro yang begitu besar saja, tampak kering kerontang,  tidak setetes pun air kelihatan. Daerah ini, benar-benar kering. Sungai Comoro yang luas dan panjang itu, hanya diisi oleh bebatuan koral yang bisa dilewati oleh truk-truk yang memngambil batu koral. Sangat menyedihkan bagi kita melihatnya. Namun, itu adalah kondisi yang mungkin biasa bagi masyarakat Timor Leste. Kekeringan itu memang melanda saat musim kemarau, kemudian banjir melanda saat musim hujan tiba.

Sebagai negara yang baru merdeka dan lepas dari pangkuan Indonesia, negara ini dulu sebelum merdeka menggunakan mata uang rupiah. Namun, setelah merdeka mereka ternyata meninggalkan penggunaan mata uang rupiah dan memilih menggunakan mata uang dolar. Dalam kondisi ekonomi Timor Leste semacam itu, pasti kita sebagai orang Indonesia merasa aneh dan bertanya mengapa Timor Leste menggunakan mata uang dolar?  Mengapa tidak menggunakan mata uang rupiah saja, karena mereka sudah terbiasa menggunakan mata uang rupiah sekian lama selama masih bergabung dengan Indonesia. Juga mengapa mereka tidak menggunakan mata uang sendiri saja? Ya, mungkin kalau menggunakan mata uang sendiri, belum ada mata uangnya dan harus menyesuaikan dengan banyak mata uang lainnya. Tetapi pilihan menggunakan mata uang rupiah, bisa jadi lebih rasional. Akan tetapi pilihan Timor Leste jatuh kepada dolar.

Jadi, tidaklah mengherankan lagi kalau kita berbelanja, atau membeli makanan atau minuman atau apapun yang ingin deibeli, kita harus menggunakan dolar. Di kota ini, kita bisa melihat lembaran satu dolar atau 5 dolar, 10 dolar, 20 dolar dan bahkan 100 dolar dalam keadaan kumal, tetapi tetap laku saat dibelanjkan. Tidak seperti di Indonesia, tidak boleh ada setitik noda pun. Anak-anak dan siapa pun pasti menggunakan dolar sebagai nilai tukar. Lalu, kita yang datang dari Indonesia dan melakukan aktivitas belanja, maka kita tidak bisa menggunakan rupiah di sana.

Muncul pertanyaan kita kala melihat bangsa Timor Leste menggunakan dolar tersebut. Apakah mereka tidak kesulitan atau tidak menjadi terjajah oleh dolar? Segelanya kalau mau membeli dengan dolar? Mereka mengatakan tidak ada masalah besar dengan penggunaan mata uang dolar, karena tidak harus menukar mata uang lokal ke mata uang dolar. Tidak sama seperti kita, saat ingin belanja atau berjalan ke luar negeri, kita harus menukarkan atau membeli dolar lebih dahulu yang harganya berbeda ketika menjual dolar kita. Sesungguhnya, kitalah yang tidak beruntung ketika menukarkan rupiah ke dolar, karena nilai dolar terlalu jauh dibandingkan nilai mata uang rupiah. Jadi, selayaknya kita mengatakan bahwa ketika nilai mata uang dolar terus naik, mereka tetap aman saja menggunakan dolar. Maka, untunglah Timor Leste menggunakan dolar, walau mungkin dalam kondisi lain, mereka juga akan mendapatkan kerugian tertentu. paling tidak sekarang mereka aman dengan dolar[caption caption="TImor Leste Tidak pakai Rupah"][/caption]

Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun