Mohon tunggu...
aldi tabrani
aldi tabrani Mohon Tunggu... Lainnya - Allegans contraria non est audiendus

Mahasiswa Hukum Internasional dan Eropa The Hague University di Den Haag, Belanda.

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup

Berkaca dari Kasus George Floyd, Mari Wujudkan Bhinneka Tunggal Ika Dibanding Referendum untuk Papua

3 Juni 2020   20:56 Diperbarui: 29 April 2022   01:12 423
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gaya Hidup. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

Belum cukup dilanda pandemi covid-19, dunia kembali bergejolak karena peristiwa di Amerika Serikat. George Floyd, warga Afro-Amerika tewas ketika tidak sanggup lagi bernafas akibat disekap oleh lutut polisi.

Video amatir menangkap kejadian tersebut, dimana Floyd yang tidak membawa senjata atau mengancam nyawa petugas sudah mengatakan bahwa dia tidak bisa bernafas. Akibatnya, unjuk rasa besar-besaran di seluruh Amerika berubah menjadi kerusuhan.

Toko-toko dijarah dan Kantor Polisi di bakar. Kerusuhan ini mengingatkan publik Amerika terhadap kerusuhan Los Angeles 1992. Pada saat itu, Rodney King berusaha melarikan diri ketika diminta untuk memberhentikan mobilnya. Ketika keluar mobil, King dipukuli 56 kali dan disetrum tanpa belas kasihan.

Belum lagi, sedang ada perseteruan ras yang dipicu oleh tewasnya anak Afro-Amerika berumur 15 tahun. Penembakan dilakukan oleh pemilik toko yang beretnis Korea-Amerika karena anggapan bahwa anak tersebut hendak mencuri jus jeruk.

Kasus George Floyd di Amerika membuat kita teringat pada Papua. Provinsi paling timur Indonesia ini sering dilupakan, padahal juga butuh perhatian dalam melawan rasisme. Persis tahun lalu, unjuk rasa besar-besaran juga terjadi akibat peristiwa di Surabaya. Mahasiswa Papua disebut "Monyet" oleh aparat karena dituduh tidak mau mengibarkan bendera merah-putih.

Rekaman kejadian ini menjadi viral, mengakibatkan kerusuhan di Papua dan berbagai kota di Indonesia. Permasalahan rasisme di Indonesia bukan merupakan hal yang baru sejak ratusan tahun yang lalu. Belanda menciptakan perbedaan antara golongan pribumi dan non-pribumi untuk memuluskan strategi devide et impera nya. Strategi yang bertujuan untuk memecah-belah didasari perbedaan etnis.

Para kelompok yang memperjuangkan kemerdekaan Papua meminta dilaksanakan nya referendum. Walaupun tidak bisa dipukul rata bahwa seluruh elemen masyarakat Papua meminta kemerdekaan, untuk kepentingan artikel ini kita sebut saja sebagai "kelompok". Referendum adalah pemilihan umum dengan sistem voting, untuk menentukan apakah rakyat Papua ingin tetap menjadi bagian Republik Indonesia atau tidak. 

Hukum Internasional memilki hirarki sumber hukum. Sumber hukum primer adalah yang tertinggi, diisi oleh traktat, hukum kebiasaan internasional dan prinsip-prinsip umum hukum. Hak menentukan nasib sendiri atau self determination ditulis di pasal 1 Piagam Perserikatan bangsa-bangsa (PBB). Piagam ini merupakan traktat yang berlaku bagi seluruh Negara anggota PBB.

Pemerintah Indonesia yang menolak referendum di Papua beranggapan bahwa Papua adalah bagian dari NKRI dan meminta dihormatinya kedaulatan (sovereignty) serta integritas teritori (territorial integrity). Keduanya juga tertulis di pasal 2 Piagam PBB. Indonesia juga menganggap berhak untuk memiliki Papua karena prinsip uti possidetis juris.

Prinsip yang merupakan bagian hukum kebiasaan internasional ini memberikan hak bagi Negara untuk meminta kembali teritori yang sudah ditetapkan pada masa kolonial. Sehingga Papua yang merupakan bagian dari Hindia Belanda, sepatutnya menjadi bagian dari Indonesia. Ini berbeda dengan Timor Timur, yang memang secara sejarah tidak termasuk dalam bagian Hindia Belanda.

Timor Timur merupakan koloni Portugis, sehingga prinsip ini tidak bisa diterapkan. Referendum pernah dilaksanakan pada periode Presiden BJ.Habibie di Provinsi Timor Timur. Provinsi tersebut sudah menjadi Negara merdeka Timor Leste. Nampaknya, Timor Timur memang diakui sebagai kesalahan rezim terdahulu (orde baru) karena Indonesia sama sekali tidak punya dasar hukum untuk mengintegrasikan Timor Timur.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun