Mohon tunggu...
Tabita Larasati
Tabita Larasati Mohon Tunggu... Desainer - disainer

suka jalan-jalan dan menulis

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Mari Bangun Generasi Emas

20 Juli 2022   16:59 Diperbarui: 20 Juli 2022   17:00 64
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pernahkan kita perhatikan saat anak berselancar di dunia maya ? atau memperhatikan isi bacaannya saat senggang? Atau memperhatikan lirik lagu bernuansa agama yang dia senandungkan? Atau juga memperhatikan hasil belajar mengajar di sekolah? Memperhatikan juga pola pertemanannya?

Beberapa kasus orangtua menemukan hasil ajar yang bergitu diresapi oleh sang anak sehingga bereaksi berlebihan terhadapnya. Misalnya bagaimana dia bereaksi terhadap konflik Israel -Palestina sebagai bagian dari ilmu sejarah dan agama. Konflik yang sangat kompleks itu seringkali diframming oleh pendidik sebagai konflik agama, padahal persolannya jauh lebih kompleks.

Kasus lain yang pernah muncul di media adalah  bagaimana sebuah sekolah milik Yayasan TNI AD tetiba memunculkan pakaian perang ala ISIS dan Suriah di sebuah karnaval PAUD. Ini mengejutkan banyak pihak  dan selama berbulan-bulan dibahas.

Terorisme jangan dipandang sebagai sesuatu yang tak mungkin digapai oleh anak-anak berseragam putih merah atau putih biru dan putih abu-abu. Terorisme sering memecah dirinya menjadi faham radikalisme  dan radikalisme juga sering memecah dirinya menjadi faham intoleransi.

Intoleransi sering mengisi ruang-ruang di mata ajaran agama dan sejarah. Beberapa guru yang mungkin tersinyalir berhaluan keras seringkali memasukkan ajaran intoleransi itu dalam benak anak-anak kecil seperti PAUD dan sekolah dasar. Sehingga tak heran jika kita penah menjumpai seorang ibu yang terbelalak menghadapi anaknya yang menolak diajak ke mal dengan alasan para pemilik mal dan pendatangnya adalah orang kafir.

Berbagai konten radikal dalam lirik-lirik lagu seperti lagu berbau agamis seolah memberi kelegaan bagi berbagai kegundah gulanaan para anak belia. 

Konten-konten itu mereka temukan ketika berselancar di media sosial. Ada juga rasa kepahlawanan mereka dapatkan saat mendengar kisah kepahlawanan para pejuang palestina yang dibawakan oleh guru sejarah mereka.

Konten-konten yang mereka terima itu lalu membentuk pola pikir mereka. Bahkan memunculkan persepsi tersendiri akan ajaran-ajaran agama yang mereka peroleh.

Celakanya, anak-anak di bawah umur (dibawah 17 tahun) yang sudah terpapar radikalisme dan dalam kesehariannya berlaku sangat intoleran, sulit terdeteksi oleh instrument keamanan dalam hal ini aparat penegak hukum. Padahal jika dibiarkan ini ibarat penyakit menahun yang mungkin cepat menular dan belum bisa disembuhkan secara cepat.

Karena itu penguatan peran keluarga dan lingkungan perlu dilakukan. Jika memang pihak sekolah berperan dalam membentuk karakter intoleran ini, cepatlah lapor kepada yang berwenang dalam hal ini disdik setempat. Jika karakter intoleran ini terdteksi didapat dari media maya, lekaslah cari metode tepat agar sang anak tidak terus menerus terpapar konten-konten radikal.

Ini semua semua membangun generasi muda berkualitas dan bebas radikalisme, untuk menuju Indonesia Emas 2045.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun