Mohon tunggu...
Tabita Larasati
Tabita Larasati Mohon Tunggu... Desainer - disainer

suka jalan-jalan dan menulis

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Beragam Tapi Satu

29 Oktober 2021   20:32 Diperbarui: 29 Oktober 2021   20:39 120
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: Radio Idola Semarang


Sebenarnya tidak adil untuk memperbandingkan masa lalu dan masa kini karena kondisinya amat berbeda. Namun beberapa hal memang harus kita cermati berkenaan dengan peran generasi muda saat ini.

Tak bisa dipungkiri bahwa ada fenomena menarik sekaligus menyedihkan soal kaum muda saat ini. Pertama soal terpaan informasi digital melalui gadget yang sangat massif. Kedua soal eksklusivitas, faham transnasional dan nasionalisme yang dimiliki kaum muda.

Soal terpaan informasi digital sudah bukan barang baru lagi karena nyaris semua orang punya produk digital minimal gadget. Dari gadget kita bisa menerima apa saja, content yang bersifat positif sampai negatif. Dari yang content yang sifatnya netral sampai (kadang) terlalu pribadi. Dari ucapan yang tidak sopan sampai sopan, dari content yang membangun sampai radikal.

Kemudahan memperoleh informasi ini menyebabkan seakan dunia tanpa batas. Informasi radikal pada zaman ISIS masih berjaya sekitar tahun 2011 misalnya, menerpa Indonesia secara massif melalui media sosial. Banyak orang muda yang tertarik pada massifnya faham transnasional sampai glorifikasi ISIS. 

Karena hal itu, mereka punya keinginan untuk berangkat ke Suriah dan bergabung dengan ISIS. Hal yang membuat sedih adalah setelah mereka tiba di Suriah, berbeda dengan informasi yang mereka peroleh dari media sosial selama ini.

Selain itu, hal yang juga marak terjadi di kaum muda adalah eksklusivitas berdasar faham tertentu. Kita bisa melihat hal ini pada beberapa kampus yang pada era orde baru beberapa kalangan tertentu tidak menunjukkan namun muncul seiring reformasi yang memungkinkan banyak hal dilakukan secara terbuka.

Saat itu banyak kegiatan kerohanian agama yang membagikan faham transnasional. Faham-faham itu seringkali bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945. Mereka seringkali

Mereka seringkali tidak setuju dengan Pancasila dan ingin mengusung sistem khilafah di Indonesia. Alasan mereka adalah sebagian besar dari masyarakat Indonesia memeluk agama Islam.

Memang benar, mayoritas warga Indonesia memeluk agama Islam, namun agama dan keyakinan lainpun juga ada meski dalam jumlah yang jauh lebih sedikit namun mereka tersebar di beberapa wilayah Indonesia. 

Kita tahu tentang wilayah Indonesia sedemikian lebarnya sehingga kewilayahan dan keragaman budaya juga tidak bisa dianggap sebagai satu hal yang remeh. Keberagaman ini terikat dalam satu nama yaitu Indonesia.

Karena itu pula sejak tahun 1928, pemuda kita mengikrarkan Sumpah Pemuda sebagai ikrar nasionalis pertama yang pernah dilakukan oleh pemuda dalam sejarah. Ikrar itu melambangkan bagaimana keberagaman di Indonesia bekerja menjadi satu kesatuan bangsa yaitu Indonesia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun