Mohon tunggu...
Tabita Larasati
Tabita Larasati Mohon Tunggu... Desainer - disainer

suka jalan-jalan dan menulis

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Melihat Perbedaan dengan Kontekstual

1 Mei 2021   10:30 Diperbarui: 1 Mei 2021   10:32 192
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Indonesia adalah bangsa dengan pluralitas yang tinggi.Jarang sebuah negara yang memiliki ratusan bahkan ribuan perbedaan. Banyak negara yang hanya satu atau dua perbedaan saja, tapi tidak mampu menjaga perbedaan untuk menjadi harmoni.

Kita bisa melihat beberapa negara pecahan Uni Sovyet pada masa lalu yang berpisah karena perbedaan  suku. Mereka menjadi belasan negara kecil yang berbeda etnis satu sama lain. Sehingga mengelola negara seperti Indonesia dengan ribuan perbedaan memang bukan hal mudah. Sehingga bisa dipahami ucapan yang dilontarkan oleh negaran Malaysia yaitu mahathir Muhammad bahwa memimpin negara plural dengan geografis yang beraneka seperti Indoensia, sama sekali tidak mudah.

Para founding fathers kita memang membangun Indonesia dengan berbagai perbedaan itu. Mereka bukannya tidak sadar bahwa itu sulit, namun dasar negara bernama Pancasila rupaya sangat ampuh untuk menjadi dasar berfikir, serta filosofi bangsa kita untuk memecahkan banyak permasalahan.

Namun memang ada saja hal atau pihak yang berusaha untuk memancing-macing hal yang sesungguhnya tidak perlu untuk diperdebatkan. Beberapa tokoh agama yang besar dari media sosial dan memiliki tafsiran berbeda dengan tokoh lainnya, kerap memberikan pemikiran berbeda soal ajaran Islam yang damai itu.

Seringkali agama diajarkan kepada generasi muda secara tekstual. Ajaran yang bersifat tekstual sering hanya menyuguhkan fakta tanpa melihat konteks. Padahal beberapa hal dalam ajaran Islam ada yang menyuguhkan kisah penyebaran Islam mula-mula yang penuh dengan kekerasan, perang dan saling bunuh dan fitnah. Kita tentu ingat perang Badar yang penuh keajaiban itu adalah untuk menumpas para kafir yang saat itu amat menentang Islam.

Hal itu tentu saja berbeda dengan masa sekarang. Menentang satu agama berkembang seperti pada masa lalu,nyaris tidak ada lagi ditemukan di dunia. Sehingga seharusnya agama juga dilihat secara konteks dan bukan teks semata.

Begitu juga fenomena seperti Joseph Paul Zhang yang menyatakan bahwa dia adalah Nabi ke 26 setelah Nabi Muhammad SAW. Padahal kita tahu bersama  bahwa Nabi terakhir adalah Nabi Muhammad SAW.

Inilah juga yang dihadapi oleh Indonesia yang punya banyak sekali perbedaan yang sudah kita bahas di atas. Persoalan Joseph Paul Zhang dan beberapa soal lainnya haruskita sikapi secara proporsional dan kontekstual. Fokus kita saat ini adalah membangun atau merumuskan langkah-langkah untuk membangun persatuan dan mengikis perbedaan. Ramadhan dan Idul Fitri adalah momentum untuk itu.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun