Mohon tunggu...
Tabita Larasati
Tabita Larasati Mohon Tunggu... Desainer - disainer

suka jalan-jalan dan menulis

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Kembali Pada Cita-cita Luhur Pahlawan

9 November 2019   07:22 Diperbarui: 9 November 2019   07:27 73
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Jika kita mengingat Gus Dur, yang kita ingat adalah prespektif toleransinya. Beliau mampu memberi pemahamanan kepada kita semua soal bagaimana melihat dan memperlakukan orang lain dengan sejajar, tidak lebih tinggi atau lebih rendah.

Pada masa itu prespektif itu memang bisa diterima oleh banyak orang terutama yang punya pandangan luas dan mampu melihat sesuatu dari prepektif luas. Kita bisa lihat misalnya  Nurcholis Madjid, Emha Ainun Nadjib dan beberapa orang pemuda lainnya.

Saat itu mereka aktif untuk meneruskan prepektif ini ke beberapa pihak semisal kampus dan beberapa pengajian yang diisi oleh pemuda dan remaja. Mereka mampu berfikir dengan prespektif itu dimana kondisi Indonesia belum banyak dipengaruhi oleh faham yang aneh-aneh.

Tetapi seiring berjalannya waktu, Indonesia secara megejutkan mengalami masa di mana beberapa faham tumbuh dengan senyap. Faham ini ternyata tumbuh subur di berbagai kalangan semisal kalangan kampus, kalangan ibu-ibu pengajian dan bebeapa lainnya. Mereka punya prespektif lain dan punya konsep berbeda soal toleransi yang berlaku selama ini.

Hal ini bisa kita lihat pada kontestasi politik yang terjadi di Indonesia mulai tahun 2014 sampai sekarang, dimana para calon memakai politik identitas sebagai cara untuk memperoleh simpati masyarakat. Hal ini seperti bak gayung bersambut dari para simpatisan politik identitas karena seperti menemukan "penampung" bagi faham yang diyakininya itu.

Akibatnya bisa dilihat saat Pilpres 2014, Pilkada Jakarta 2017 dan masih dilanjutkan pada pilpres 2019. Politik identitas seakan tumpah ruah pada setiap narasi yang diucapkan pada kampanye. Lalu para simpatisan itu kemudian melontarkanya lagi pada banyak kesempatan dan media termasuk media sosial. Mereka saling menghujat dan memojokkan di media sosial sehingga menumbuhkan rasa benci seseorang pada satu pihak.

Ini membuat rasa kebatinan sebagai bangsa menjadi mengecil karena sebelumnya kita terbiasa tumbuh pada situasi keberagaman yang nyaman dan bisa diterima oleh pihak lain. Usai politik identitas marak, orang menjadi tidak nyaman untuk mengungkapka bahwa dirinya berbeda keyakinan dengan yang lain karena banyak orang menunjukkan rasa tidak bersahabat terhadap orang lain yang berbeda.

Hal ini tentu tidak baik untuk rasa kebangsaan kita. Para pahlawan yang minggu ini kita peringati mungkin akan terkejut bahwa apa yang mereka perjuangkan dulu, kenyataannya begitu jauh dari cita-cita luhur soal keberagaman.

Karena itu, marilah menjadi pahlawan kekinian dengan mulai meluruhkan soal politik identitas. Mulai menerima keberagaman yang memang menjadi takdir Indoensia. Pahlawan masa lalu akan bahagia jika kita bisa meneruskan citacita mereka yang luhur itu.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun