Mohon tunggu...
Lupin TheThird
Lupin TheThird Mohon Tunggu... Seniman - ヘタレエンジニア

A Masterless Samurai -- The origin of Amakusa Shiro (https://www.kompasiana.com/dancingsushi)

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Respek dan Harmoni dalam Penghayatan Agama Orang Jepang

24 Agustus 2019   09:11 Diperbarui: 25 Agustus 2019   05:18 855
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gunung Fuji sebagai simbol Jepang dan juga sekaligus sebagai komponen alam dan objek pemujaan (dokpri)

Sehingga, jika masyarakat mengambil sesuatu atau hasil dari alam (misalnya memetik buah-buahan dari pohon, baik yang tumbuh secara alami atau yang ditanam), maka mereka itu hanya "meminjam". 

Pada saat kematian datang menjemput, maupun jika ada bencana alam yang datang menimpa, mereka harus mengembalikan "pinjaman" tersebut kepada alam.

Artinya, bagi masyarakat Jepang, alam sekitar bisa berarti sebagai rahmat, sekaligus bisa juga berarti kematian. Hidup dan mati, merupakan hal yang bergantung pada alam. 

Masyarakat Jepang mempunyai anggapan bahwa manusia, adalah bagian dari alam. Dan ada suatu entitas yang menghuni semua komponen dari alam, mulai dari pohon, batuan, sungai, gunung, dan sebagainya. Dalam Bahasa Jepang, ini disebut "Yaorozu no kami", yang menjadi dasar dari agama Shinto. Kita biasa menyebutnya sebagai politeisme.

Keberadaan entitas (tuhan) ini, bukanlah suatu hal yang mutlak dengan kuasa penuh, yang berjarak dengan manusia sehingga mustahil untuk merengkuhnya. Namun, keberadaannya dekat dengan manusia. Boleh dikatakan hubungan karib terjadi antara entitas dengan manusia.

Karena manusia adalah komponen dari alam itu sendiri, maka jika ada bencana alam (kita tahu bahwa Jepang adalah negara yang sering tertimpa bencana alam, terutama gempa bumi), mereka tidak akan merasa sedang mendapat kutukan. Sehingga, mereka akan berusaha menerima kenyataan itu, dan segera bangkit untuk membangun kembali apa-apa yang sudah rusak atau hilang.

Keberadaan entitas pada alam, merupakan sesuatu yang bisa menimbulkan rasa hormat. Namun di sisi lain, terjadinya bencana alam, dapat menimbulkan ketakutan. 

Hal ini berbeda jauh dengan paham monoteisme, yang cenderung menganggap bahwa manusia dan alam sekitar adalah berbeda. Manusia berkedudukan lebih tinggi dari alam. Sehingga terkadang, manusia secara tidak sadar sering berlaku sewenang-wenang terhadap alam.

Jika ada bencana alam, maka mereka cenderung menganggap itu sebagai kutukan. Tentunya pembaca masih ingat saat pilpres kemarin, ada beberapa orang tidak berperasaan, yang dengan enteng berkomentar (entah sengaja atau tidak) bahwa bencana yang dialami sebagian daerah di Indonesia adalah karena kutukan.

Kembali pada presentasi Matsuyama Daiko di acara TEDx. Dia mengatakan bahwa hal terpenting dalam kehidupan beragama adalah, respek dan hidup dalam harmoni.

Kalau kalimat "toleransi" sering menjadi polemik (dengan berbagai alasan) ketika digunakan dalam konteks interaksi antar umat beragama di Indonesia, maka "respek" dan kemauan untuk hidup dalam "harmoni" saya kira bisa menjadi alternatif pilihan. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun