Mohon tunggu...
Lupin TheThird
Lupin TheThird Mohon Tunggu... Seniman - ヘタレエンジニア

A Masterless Samurai -- The origin of Amakusa Shiro (https://www.kompasiana.com/dancingsushi)

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Respek dan Harmoni dalam Penghayatan Agama Orang Jepang

24 Agustus 2019   09:11 Diperbarui: 25 Agustus 2019   05:18 855
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gunung Fuji sebagai simbol Jepang dan juga sekaligus sebagai komponen alam dan objek pemujaan (dokpri)

Artis Rina Nose (yang pernah disebut pesek dan buruk oleh UAS, yang saat ini juga menjadi bahan perbincangan) mengatakan bahwa orang Jepang tidak memiliki kepercayaan terhadap suatu agama, bahkan Tuhan.

Itu dikatakannya setelah dua hari kunjungan ke Jepang. Saya tidak tahu bagaimana cara sang artis, sehingga bisa mengambil kesimpulan tersebut. 

Mungkin dia perlu datang lagi ke Jepang saat malam tahun baru (oomisoka), untuk melihat suasana bagaimana penuhnya otera (kuil Buddha). Lalu berkeliling saat tahun baru (oshougatsu), agar bisa melihat juga padatnya pengunjung jinja (kuil Shinto).

Untuk bisa melihat (sekaligus memahami) bagaimana orang Jepang menghayati agama, tentunya kita tidak bisa menggunakan "kaca mata" kita sendiri. Alias tidak bisa menggunakan pengalaman kita menghayati agama yang masing-masing kita anut, sebagai dasar atas pandangan kita.

Jadi, bagaimana cara kita memahaminya?

Sebagai pembuka, saya akan menuliskan cerita yang pernah saya baca, tentang perumpamaan kehidupan beragama di Jepang.

Kehidupan dan penghayatan agama orang Jepang, bisa diibaratkan seperti murid suatu kelas di sekolah.

Ada murid yang sudah bergabung di kelas sejak awal tahun ajaran. Kita bisa anggap mereka sebagai penganut Shinto, yang merupakan agama asli dari Jepang. Kemudian dengan berjalannya tahun ajaran, ada murid baru (misalnya yang datang dari kota yang lebih modern) yang membawa budaya baru. 

Kita bisa anggap mereka penganut Buddha. Lalu datang lagi murid baru, kali ini murid pindahan dari negara di Eropa. Kita anggap saja mereka penganut Kristen. 

Jika murid Buddha kemudian berkata, "Yuk, kita ikut mukul lonceng nanti pas malam tahun baru.  Pokoknya asyik punya deh. Omong-omong acaranya dinamakan Joya no kane lho." Maka murid Shinto pasti tidak akan menolak, karena mereka juga tertarik pada murid yang datang dari kota yang modern itu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun