Mohon tunggu...
Lupin TheThird
Lupin TheThird Mohon Tunggu... Seniman - ヘタレエンジニア

A Masterless Samurai -- The origin of Amakusa Shiro (https://www.kompasiana.com/dancingsushi)

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Salju dan Pergolakan di Jepang

11 Februari 2019   11:46 Diperbarui: 11 Februari 2019   18:39 273
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Salju yang turun di Hikone, Prefektur Shiga (dokpri)

Hari Sabtu (9 Februari) yang lalu, salju turun pada sore hari di daerah Tokyo dan sekitarnya. Salju yang turun ini merupakan salju pertama di Tokyo setelah memasuki tahun 2019. Akan tetapi karena hanya turun sebentar, maka salju tidak begitu menumpuk di jalan.

Tokyo memang bukan seperti daerah Tohoku di utara Jepang, maupun daerah yang berdekatan dengan Laut Jepang seperti di Gifu atau di Niigata yang setiap tahun selama musim dingin, selalu dipenuhi dengan salju sampai berbulan-bulan. Pemandangan di daerah itu serba putih saat musim dingin, yang biasa disebut sebagai gin-sekai dalam Bahasa Jepang.

Salju turun hanya beberapa hari dalam setahun di Tokyo. Itupun tidak berturut-turut, sehingga ketebalan saljunya hanya beberapa sentimeter saja. Meskipun, salju pernah turun dengan lebat dan mengakibatkan tumpukan salju lebih dari 20 sentimeter, seperti yang terjadi pada bulan Januari tahun 2018 lalu, atau bulan Desember tahun 2014.

Karena jarang turun salju, maka penduduk Tokyo kurang begitu terbiasa berjalan di atas salju. Seperti kejadian yang saya alami ketika berjalan dari rumah ke stasiun di hari berikutnya (Minggu). Saya sempat terpeleset karena menginjak salju tipis padat mengeras, yang masih menyelimuti beberapa bagian jalan pada pagi hari.

Walaupun gerakan tubuh saya waktu terpeleset seperti memainkan "jurus pendekar mabuk", untunglah saya bisa menjaga keseimbangan tubuh sehingga tidak terjatuh.

Ada hal yang menarik jika kita kilas balik sejarah Jepang. Ternyata, pada hari di mana salju turun, memang banyak peristiwa yang terjadi. Tentunya, bukan peristiwa misalnya orang terpeleset karena jalan licin, seperti kejadian yang saya alami.

Kejadian atau peristiwa yang terjadi pada saat salju turun yang akan saya bahas di sini adalah pergolakan besar, sehingga kemudian peristiwa tersebut dituliskan dalam perjalanan sejarah Bangsa Jepang. 

Entah mengapa kejadian saat salju turun membekas lebih lama dalam memori. Mungkin karena pergolakan tersebut menimbulkan kekacauan yang bisa mengakibatkan keamanan terganggu. Terlebih lagi, karena beberapa orang penting menjadi korbannya.

Mari kita lihat beberapa pergolakan yang terjadi saat salju turun di Jepang.

Pada era "Kamakura Bakufu" (sekitar 800 tahun yang lalu), shogun ke-3 yang menduduki kekuasaaan saat itu yaitu Minamoto no Sanetomo, dibunuh oleh sepupunya sendiri yang bernama Kugyou, saat menuruni tangga Kuil Tsuruoka Hachimangu. Peristiwa ini dituliskan dalam buku sejarah yang diterbitkan pada jaman itu yang bernama "Azumakyou".

Minamoto no Sanetomo pergi ke kuil untuk berterima kasih atas penobatan dirinya sebagai u-daijin (jabatan tertinggi di kerajaan). Sewaktu dia pulang dan menuruni tangga kuil, salju turun hingga menutupi tangga. Saat itulah Kugyou menyerangnya dan menebas leher Minamoto no Sanetomo hingga putus. Kugyou pun kemudian terbunuh oleh pengawal yang menyertai Minamoto no Sanetomo. 

Yang masih menjadi misteri sampai sekarang adalah, kepala dari Minamoto no Sanetomo, hilang dan tidak bisa ditemukan.

Sebagai catatan, Kuil Tsuruoka Hachimangu merupakan kuil shinto yang terletak di kota Kamakura, Prefektur Kanagawa. Kuil ini dibangun pertama kali pada tahun 1063, namun lokasinya masih di daerah yang bernama Yui-ga-hama. 

Tahun 1180 kuil ini dipindah dari Yui-ga-hama ke lokasi yang sekarang oleh Minamoto no Yoritomo (Shogun pertama dari Kamakura Bakufu). Wujud kuil yang bisa kita saksikan saat ini dibangun pada tahun 1191. Dari Kamakura, kita pindah ke era "Edo Bakufu".

Pada tahun 1860 terjadi peristiwa pembunuhan penasihat pemerintahan Edo Bakufu yang bernama Ii Naosuke. Li Naosuke merupakan seorang daimyou di daerah yang bernama Ohmi Hikone-han (daerah Ohmi saat ini terletak di sekitar Prefektur Shiga).

Li Naosuke merupakan orang yang banyak berjasa setelah kaikoku, yaitu Jepang membuka akses bagi masuknya pengaruh asing. 

Seperti kita semua tahu, Jepang menutup diri (isolasi) dari pengaruh asing selama lebih dari 200 tahun. Contoh peran penting Ii Naosuke pada masa itu adalah, dia melakukan perjanjian ekonomi yang pertama dengan Amerika setelah masa isolasi, pada tahun 1858.

Dia dibunuh ketika berjalan dengan rombongannya saat salju turun, oleh 17 samurai yang statusnya sudah keluar dari Mito-han (sekarang daerah di Prefektur Ibaraki), ditambah satu orang dari Satsuma-han (sekarang daerah di Prefektur Kagoshima). Karena tempat terbunuhnya Ii Naosuke hanya berjarak kurang lebih 400 meter dari gerbang Edo-jou (Edo Castle) yang bernama Sakuradamon (mon berarti gerbang), maka peristiwa terbunuhnya Ii Naosuke disebut dengan nama "Sakuradamon-gai no Hen" (gai berarti di luar).

Edo-jou saat ini menjadi kediaman resmi Kaisar Jepang. Namun, ada beberapa tempat yang dibuka untuk umum. Pada hari libur banyak wisatawan domestik dan luar negeri berkunjung ke Edo-jou. Jika pembaca punya kesempatan untuk datang ke Jepang, bisa melihat langsung Sakuradamon, di mana gerbang ini telah ditetapkan sebagai warisan kebudayaan nasional oleh Pemerintah Jepang.

Kemudian yang terakhir, mari kita simak pergolakan yang terjadi pada abad ke-20.

"Ni-niroku Jiken" adalah peristiwa kelam yang terjadi pada abad ke-20. Peristiwa ini merupakan percobaan kudeta namun gagal, yang dilakukan oleh para perwira sekolah Angkatan Darat Jepang. Nama ni-niroku (atau dituliskan 2-26) diambil dari tanggal terjadinya peristiwa ini, yaitu tanggal 26 Februari tahun 1936.

Peristiwanya kudeta yang gagal ini terjadi pagi-pagi sekali, saat salju turun. Sekelompok perwira menginginkan pemerintahan kembali berpusat pada kaisar. Mereka menduduki beberapa gedung penting di Jepang, seperti gedung tempat tinggal perdana menteri, gedung menteri keuangan (yang menterinya kemudian ditembak mati), kantor kepolisian, serta beberapa kantor berita media cetak Jepang.

Peristiwa kudeta ini berakhir tanggal 4 Maret pada tahun yang sama. Menurut rilis yang dikeluarkan pemerintah, tentara (termasuk perwira) yang ikut percobaan kudeta ini jumlahnya sekitar 1400 orang. 

Melalui pengadilan militer, beberapa perwira yang berperan aktif dan memegang komando kemudian dihukum mati. Sisanya, ada yang dihukum seumur hidup, lalu ada juga yang terkena hukuman kurungan beberapa tahun.

Dari 3 peristiwa yang saya tuliskan di atas, meskipun salju berwarna putih (di mana umumnya putih merupakan lambang untuk sesuatu yang baik), entah mengapa peristiwa pergolakan (pembunuhan, kudeta, dan sebagainya) yang tergolong sesuatu yang "hitam", terjadi ketika salju turun?

Peristiwa kejam itu tentunya ingin segera dilupakan. Namun ironinya, pergolakan itu menimbulkan bekas dan ingatan yang mendalam bagi masyarakat Jepang. Mungkin karena "hitam" dan "putih" adalah warna yang kontras sehingga mudah untuk diingat?

Menurut pengalaman, jika kita sedang berjalan di tengah suasana saat salju turun, maka konsentrasi akan terpusat pada kaki dan kita lebih sering memandang ke bawah sehingga abai akan keadaan sekeliling. Beberapa orang mungkin juga dalam keadaan "hibernasi" ringan jika salju turun, sehingga tidak "siap diri" di rumah. 

Apakah ini juga menjadi alasan bagi orang-orang yang ingin membuat pergolakan, karena kesempatan mereka untuk membuat keonaran ketika orang sedang lengah saat salju turun? Saya kurang tahu pasti.

Tentunya hal ini membuat orang-orang zaman dahulu takut dan cemas jika salju turun.

Namun yang saya tahu pasti, untungnya di zaman modern seperti sekarang ini, tidak ada pergolakan yang terjadi ketika salju turun. 

Akibat paling pol jika salju turun adalah orang-orang kadang tergelincir karena licinnya jalan (seperti yang sering saya alami), atau perjalanan bus dan kereta api yang biasanya agak terlambat.

Mengenai perjalanan yang terlambat (baik dengan bus maupun kereta) saat salju turun ini, mungkin pada tahun-tahun kedepan sudah tidak ada lagi. Karena teknologi juga sudah mulai dimanfaatkan agar tidak ada gangguan di jalan saat turun salju.

Misalnya pemanfaatan AI (Artificial Intelligence) untuk menganalisis gambar/video yang diambil saat salju menutupi jalan. Diharapkan dengan analisis salju, maka bisa diperoleh data tentang ketebalan salju, kualitas salju (lembut atau kasar), dan lainnya secara real time. 

Kemudian data ini akan diberikan kepada pengguna jalan, ataupun dinas yang terkait agar bisa menjadi panduan (misalnya harus memasang ban anti selip, atau menaburkan pasir di jalan). Sistem ini sekarang baru memasuki tahap percobaan, dan akan diimplementasikan pada tahun 2020.

Perusahaan kereta api juga sudah menerapkan beberapa teknologi baru untuk mengatasi gangguan akibat salju, misalnya memasang penghangat yang bisa mencairkan salju pada sambungan pertukaran rel, atau pengunaan pantograph (bagian yang bersentuhan dengan kabel di atas kereta) yang konstruksinya tahan salju.

Jadi sekarang, tidak ada alasan lagi untuk takut dan cemas jika salju turun. Apalagi untuk urusan kepeleset, saya tidak takut lagi karena sudah punya anti-slip yang praktis dipakai di sepatu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun