Mohon tunggu...
Lupin TheThird
Lupin TheThird Mohon Tunggu... Seniman - ヘタレエンジニア

A Masterless Samurai -- The origin of Amakusa Shiro (https://www.kompasiana.com/dancingsushi)

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Natal Terakhir Era "Heisei"

25 Desember 2018   06:00 Diperbarui: 25 Desember 2018   10:32 1128
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pohon Natal besar di Kompleks Sanrio Puroland, Tokyo (Dokumentasi Pribadi)

Tahun 2018 hanya tersisa beberapa hari lagi.

Karena Desember merupakan bulan terakhir dalam satu tahun, dibanding bulan-bulan lain, maka orang akan sedikit sibuk dengan dengan kegiatannya masing-masing. Mungkin ada yang sedang mengevaluasi semua kegiatan yang sudah dilakukannya selama tahun ini. Adapula yang mungkin sedang merencanakan kegiatan yang akan dilakukan tahun depan.

Shiwasu adalah sebutan lain untuk bulan Desember dalam Bahasa Jepang. Shiwasu ditulis dengan 2 huruf Kanji, yaitu Kanji yang berarti guru dan disebelahnya ditulis Kanji yang mempunyai arti berlari, sehingga artinya menjadi "guru berlari".

Guru adalah orang yang biasanya tenang dan berhati-hati dalam segala tindakannya, salah satu alasannya adalah karena dia berperan sebagai panutan. Bisa dibayangkan bagaimana sibuknya orang pada bulan Desember jika guru yang biasanya tenang saja, sampai harus berlari.

Hari ini tanggal 25 Desember dan orang Kristen di seluruh dunia merayakan Natal yang merupakan hari kelahiran Sang Juru Selamat. Tidak terkecuali bagi orang Kristen di Jepang. 

Gereja Katolik St. Ignatius, Yotsuya, Tokyo (Dokumentasi Pribadi)
Gereja Katolik St. Ignatius, Yotsuya, Tokyo (Dokumentasi Pribadi)
Namun, ada yang istimewa bagi orang Jepang (dan orang yang merayakan Natal tahun ini di Jepang), karena Natal tahun ini adalah yang terakhir pada era "Heisei".

Jepang menggunakan penanggalan yang sudah kita kenal dan digunakan secara luas di seluruh dunia yaitu penangalan Masehi, untuk semua kegiatan, misalnya di kantor-kantor pemerintah maupun swasta. Akan tetapi, dalam penamaan tahunnya, penanggalan Jepang (wa-reki) masih digunakan. Wa-reki mempunyai nama khusus untuk masa tertentu yang dinamakan "gen-go".

Gen-go sudah digunakan sejak tahun 645 dan masih terus dipakai sampai sekarang. Nama gen-go baru, akan digunakan setelah kaisar baru naik takhta. Dan namanya pun tidak akan berubah sebelum kaisar meninggal atau turun takhta.

Tahun ini adalah era "Heisei", sehingga disamping nama "Tahun 2018", orang Jepang memakai juga nama tahun "Heisei 30 (dibaca:sanjuu)-nen" atau tahun Heisei ke-30. Penamaan dengan "Heisei" ini masih dipakai, misalnya untuk urusan pajak, tahun fiskal, laporan resmi dan sebagainya.

Tiap era dengan tahun gen-go nya, mempunyai makna dan kenangan tersendiri bagi orang Jepang. 

Contohnya pada era Meiji (1868-1912), kita mengenal Restorasi Meiji, dimana Jepang melakukan perubahan besar-besaran di segala bidang, dimulai dari pergantian kekuasaan dari pemerintahan shogunate (bakufu) ke pemerintahan yang berpusat pada kaisar (shin-seifu). Pada era Taisho (1912-1926) terjadi Perang Dunia I, dimana Jepang saat itu bersekutu dengan Inggris untuk melawan Jerman dan sekutunya. 

Era Showa (1926-1989) menjadi era kebangkitan Jepang di bidang ekonomi dan teknologi. Puncaknya adalah dilangsungkannya Olimpiade Tokyo, yang merupakan olimpiade pertama di Asia pada tahun 1964. Setelah itu Jepang memasuki zaman pertumbuhan ekonomi tinggi yang disebut keizai baburu atau economic bubble.

Gereja Katolik Seijo, Tokyo (Dokumentasi Pribadi)
Gereja Katolik Seijo, Tokyo (Dokumentasi Pribadi)
Dan era Heisei saat ini, tepatnya Heisei 30-nen, dimulai pada tahun 1989 saat Kaisar Akihito naik takhta.

Tahun ini Kaisar Akihito telah mengumumkan akan turun takhta. Putranya, Pangeran Naruhito, akan menggantikan posisinya tahun depan. Biasanya kaisar akan berganti jika dia meninggal, sehingga turun takhtanya kaisar (sewaktu masih hidup) yang terjadi saat ini merupakan peristiwa langka. Sebagai catatan, peristiwa yang sama terjadi kira-kira 200 tahun yang lalu.

Rencananya pada bulan Mei 2019, akan diumumkan gen-go baru untuk Jepang, setelah Pangeran Naruhito naik takhta. Itulah sebabnya Natal tahun ini adalah Natal terakhir era "Heisei".

Menurut data Badan urusan Kebudayaan Jepang, penganut agama Buddha jumlahnya 48,1 persen, Shinto 46,5 persen, Kristen 1,1 persen, dan sisanya adalah yang lain-lain.

Orang Jepang memang tergolong "unik", dalam banyak hal. Salah satu contohnya adalah pandangan orang Jepang tentang agama. 

Bagi orang Jepang, agama adalah tentang pemahaman nilai-nilai yang universal, misalnya tentang hal-hal yang berhubungan dengan moral baik dan etika. "Baju luar" atau simbol-simbol, bagi mereka tidak penting.

Mengapa bisa begitu? Salah satu alasannya adalah karena agama Shinto yang sudah dianut orang Jepang sejak zaman dahulu, mengenal bermacam-macan "tuhan" (dalam Bahasa Jepang disebut Yaorozu-no-kami). Pemahaman inilah yang membuat kebanyakan orang Jepang akan menghargai dan tidak membeda-bedakan orang berdasarkan agama yang dianut.

Kita sering mendengar bahwa orang Jepang saat lahir beragama Shinto (ditambah ada perayaan umur 3, 5, 7 tahun yang dilaksanakan di kuil Shinto), saat menikah beragama Kristen (karena mereka melaksanakannya di Kapel atau Gereja), dan saat meninggal beragama Buddha (karena disembahyangkan di kuil Buddha).

Oleh sebab itu, walaupun penganut Kristen sedikit, namun Natal merupakan hari istimewa di Jepang, karena orang Jepang yang tidak beragama Kristen pun merayakannya. 

Gereja Katolik St. Anselm, Meguro, Tokyo (Dokumentasi Pribadi)
Gereja Katolik St. Anselm, Meguro, Tokyo (Dokumentasi Pribadi)
Kemeriahan suasana Natal di Jepang bisa dirasakan di mana-mana. Di tiap sudut kota, banyak pohon Natal serta berbagai macam atribut Natal dipasang. Hiasan lampu berwarna-warni makin menambah keindahan pemandangan kota dimalam hari, menjelang Natal. 

Jika kita mengunjungi pusat perbelanjaan, bahkan di gedung perkantoran baik pemerintah maupun swasta, pohon Natal menghiasi pintu masuk maupun dipasang di dalam gedung. 

Di pusat perbelanjaan, mini market maupun warung dekat rumah, banyak dijual benda-benda, maupun makanan (kue) dengan tema Natal. (Tentang keunikan perayaan Natal di Jepang yang lain, silahkan pembaca merujuk pada artikel saya disini)

Saya juga pernah membawa teman orang Jepang untuk merayakan misa malam Natal, karena dia ingin tahu suasana perayaan Natal di Gereja.

Bisa jadi bahwa kebanyakan orang Jepang yang tidak beragama Kristen belum mengerti akan arti yang hakiki dari (perayaan) Natal. Namun, dengan merayakan Natal menurut cara mereka, saya berpendapat itu juga bagian dari arti Natal, yaitu membagikan "kegembiraan", baik kepada rekan kerja, anggota keluarga, tetangga, pengunjung pusat perbelanjaan, pejalan kaki, dan kepada semua orang.

Menilik sejarah Jepang zaman dahulu, Katolik sudah masuk ke Jepang sejak ratusan tahun yang lalu, dibawa oleh Santo Fransiscus Xaverius pada tahun 1549. Dia mendarat di Pulau Kyushu, yang berlokasi di Selatan Jepang. Sehingga, hal itu juga yang menyebabkan populasi penganut Katolik di Jepang banyak berada di daerah Selatan seperti Nagasaki dan juga di Hiroshima.

Dengan memiliki sejarah panjang sejak masuknya agama Katolik, maka jumlah Santo/Santa yang berasal dari Jepang cukup banyak, yaitu 42 orang. Sementara itu, 394 orang lainnya sudah di Beatifikasi (orang yang diakui memilik keistimewaan secara spiritual) oleh Vatikan.

Kegiatan orang Katolik di Jepang tidak jauh berbeda dengan kegiatan penganut Katolik di Indonesia. 

Beragam kegiatan dilakukan oleh orang Katolik sebagai anggota lingkungan, atau dalam cakupan yang lebih besar di Paroki. Misalnya ada kegiatan doa lingkungan, kegiatan mengumpulkan sumbangan untuk amal (terakhir untuk korban gempa dan tsunami di Palu), berdoa rosario pada bulan Mei dan Oktober, lalu ada juga kegiatan mudika (muda-mudi Katolik) walaupun anggotanya tidak banyak, sekolah minggu dan sebagainya.

Kebetulan saya pernah menjadi mudika (katorikku-seinen) selama beberapa tahun. Sewaktu masih anggota mudika, saya mempunyai kesempatan untuk ikut berbagai macam kegiatan. 

Contohnya, yang berhubungan dengan spiritual diantaranya adalah mengadakan retret, mengunjungi Gereja yang bersejarah, misalnya mengunjungi Ooura Tenshudou di Nagasaki yang merupakan bangunan Gereja Katolik tertua di Jepang. Ada juga kegiatan yang berhubungan dengan kebudayaan, misalnya diskusi buku, menonton film (dengan tema tertentu) lalu mendiskusikannya.

Gereja Katolik St. Francis Xavier, Kanda, Tokyo (Dokumentasi Pribadi)
Gereja Katolik St. Francis Xavier, Kanda, Tokyo (Dokumentasi Pribadi)
Ada kabar yang menggembirakan diujung tahun ini bagi orang Katolik Jepang (dan tentu saja bagi saya yang kebetulan sedang berada disini), bahwasanya Paus Fransiskus berencana mengunjungi Jepang pada tahun 2019 yang akan datang. Kunjungan ini adalah kali kedua kunjungan Paus setelah kunjungan Santo Yohannes Paulus II (Paus ke-264), yang telah mengunjungi Jepang pada tahun 1981.

Jepang mengalami "penderitaan berat" saat dua kotanya Hiroshima dan Nagasaki hancur lebur akibat perang. 

Dalam pidato Santo Yohanes Paulus II di monumen peringatan perdamaian saat kunjungannya ke Hiroshima, dia mengingatkan bahwa perang, adalah ulah manusia, yang akan membawa manusia itu sendiri kepada kehancuran. Dia mengatakan juga bahwa, pada akhirnya, perang akan membawa kematian bagi kehidupan. 

Memang perang yang terjadi saat itu adalah perang antar negara, karena ketamakan manusia untuk menguasai dan sekaligus menghancurkan lawan (Kota Hiroshima merupakan salah satu saksi bisu dari sisi gelap perang) .

Walaupun saat ini dibeberapa tempat masih terjadi perang (yang sesungguhnya), untungnya baik di Jepang maupun di Indonesia, tidak terjadi perang seperti saat Perang Dunia ke-2 atau saat perang untuk merebut kemerdekaan.

Namun, saya memaknai pidato Santo Yohanes Paulus II tersebut masih relevan saat ini. Kita memang masih harus terus ber"perang". 

Bedanya, "perang" disini adalah tidak untuk melawan, menaklukkan, bahkan bukan untuk menyakiti orang lain, apalagi menyakiti orang yang berbeda pandangan dengan kita.

Melainkan kita harus terus "perang" melawan diri kita sendiri. "Perang" untuk mengalahkan hawa nafsu pribadi atau kelompok. 

Kita harus bisa berperang melawan egoisme, sehingga diharapkan kita punya lebih banyak waktu untuk menjaga dan memberi nilai bagi kehidupan. Karena kehidupan itu penting, bukan saja untuk kita sendiri, melainkan juga bagi semua makhluk hidup di atas bumi, yang diciptakan olehNya.

Gereja Katolik Kusatsu, Shiga Prefecture (Dokumentasi Pribadi)
Gereja Katolik Kusatsu, Shiga Prefecture (Dokumentasi Pribadi)
Era Heisei akan berakhir dan akan lahir era dengan nama gen-go baru. Era baru menandakan "kelahiran" dan tentunya orang Jepang berharap dengan lahirnya era baru itu kehidupan bisa menjadi lebih baik.

Saya sebagai orang Katolik, dengan momentum Natal ini akan berusaha agar bisa "terlahir" kembali menjadi "manusia baru". Manusia baru yang bisa memberikan manfaat selain bagi diri kita sendiri, tentunya juga bagi sesama, tanpa memandang "baju" yang dipakainya. 

Dan yang terpenting, ketika terlahir kembali sebagai manusia baru, orang (Katolik) diharapkan bisa memberi nilai dan menghargai kehidupan, atas semua makhluk hidup ciptaanNya di bumi, dimanapun kita berada.

Selamat Natal 2018.  Gloria in Excelsis Deo.

Semoga damai Natal selalu beserta kita semua.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun