Mohon tunggu...
Stenly Taaluru
Stenly Taaluru Mohon Tunggu... Arsitek - masih belajar

masih belajar mencerna untuk bercerita

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Dear Ayu

2 Februari 2017   12:58 Diperbarui: 2 Februari 2017   13:14 182
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

dear, Ayu

apa yang kamu lakuin ke aku itu jahat...!

Aku ragu apakah Rangga benar-benar sejahat itu pada Cinta. Yang ku tahu, kau telah melakukannya padaku-ah, bukan padaku saja, tapi pada orang-orang yang terlanjur terbuai dengan kata-katamu beberapa tahun kemarin- sejak pertama kali kamu mengucap sumpah di depan para saksi, saat telapak tanganmu yang halus bersentuh dengan kasarnya tekstur permukaan buku suci tua itu.

Ayu,

Dulu, katamu, kemenangan itu adalah kemenangan kita berdua- maksudku kita bersama.Tapi sejak kapan definisi kata "kita", perlahan, mirip nada suara tokek yang makin lama makin merendah, berubah menjadi "kami", dan akhirnya menjadi "aku" saja?  Sebetulnya aku malu pernah terlanjur menyandarkan harapan ini dipundakmu, sementara dulu alam tak pernah ingkar memberi lengannya pada kami. Beberapa minggu yang lalu-waktu itu hujan tak mau berhenti, hingga kulit kota tak mampu menahan bendungan air yang tak kuasa meluap hingga ke bahu jalan-lewat sebuah jendela mikrolet yang kutumpangi ketika tak sengaja memasuki kompleks kantormu, kulihat kau berbincang asyik dengan dengan si Vicky, teman kuliahku dulu yang hari ini punya  perusahaan konsultan dengan aset berdigit-digit. Di belakang kalian, tepatnya di sebuah bangku kayu yang menghadap teluk kota kita, nampak si mantan asisten dosen yang baru sebulan lalu mendirikan kantor konsultannya sendiri.

Waktu itu, aku tak berpikir macam-macam, karna titik-titik hujan kala itu  memaksa mataku menatap mata sayumu yang masih tetap sama indahnya ketika waktu pertama kali aku mengenalmu. Hingga beberapa hari kemudian, melalui mulut seorang tetangga yang entah bisa kupercaya atau tidak ketika itu, aku mengetahui bahwa kamu memutuskan memilih PT Junjung Karya Pertiwi sebagai konsultan perencana dalam proyek perencanaan Taman Kota. Itu tak masalah bagiku. Mereka berpengalaman dalam pekerjaan demikian. Dan Vicky, bos PT Junjung Karya Pertiwi itu bukanlah orang tak kompeten dengan proyek semisal itu. Tapi, Ayu, apakah dengan upeti 10% yang ditawarkan mereka padamu mampu membuat kamu lupa bilamana dulu, dihadapkanku- ah, maksudku dihadapan kami-kamu pernah berjanji takkan pernah melakukan itu?

Ayu..

Keesokan harinya setelah kejadian yang kusaksikan-bersama rintik hujan-dari jendela mikrolet itu, aku memutuskan untuk mengabaikan apa yang telah kudengar kemarinnya. Mencoba melihatmu seperti pertama kali kita berkenalan membuat pikiran sejenak melupakan perihal upeti 10%. Kau ingat saat pertama kali kuboncengi dengan sepeda motor tua berpelek terali bersuara cempreng itu?ah...sudahlah.maksudku, kau ingat ketika dihadapanku,juga dihadapan kami, kamu, dalam intonasi gulungan suara yang tinggi namun anggun, pernah berujar bahwa suara Tuhan adalah suara rakyat?waktu itu keringat dengan manjanya bermain di keningmu, dan kamu, aku, juga kami semua larut dalam semaraknya pesta rakyat yang tak pernah kujumpai beberapa tahun terakhir kala itu. Waktu itu, persis seperti kamu meyakinkan padaku bahwa jarak bukanlah anasir kehidupan yang  benar-benar memisahkan raga, kau rapatkan keyakinanku, juga kami semua tentang janjimu membangun tanah tumpah darah moyang kita, menjauhkannya dari kemiskinan, keterbelakangan, keterpencilan, dan banyak hal-hal tak indah lainnya. Dan seketika itu, kamu laksana cinderella bagiku, juga bagi kami seantero manusia-manusia di negeri utara ini.

Ayu-ku sayang...(Ah... mengapa mulut ini terus saja menyapamu sebagai kesayangan, padahal betapa hancur-luluh remuk redam hatiku berhadapan dengan segala cerita keseharian tentangmu akhir-akhir ini)

Hari kemarin adalah lembar yang tak mudah untuk dirobek dari buku catatan hidup, dibakar bersama api dan hilang dalam debu yang hanya sedetik saja tiba-tiba tak berwujud. Juga tentang cerita-cerita kita dulu. Tentang Opa Lefran, lelaki tua humoris pembuat perangkap ikan berbahan bambu yang rumahnya hanya sepelemparan batu dari bibir pantai teluk kota ini bisa saja juga masih merekam  dalam tiap framememorinya tentang senyummu, juga matamu, sejak pertama kali  kita saling menyapa di bibir pantai tempo hari.

Di suatu sore yang jingga sementara manusia-manusia pantai lalu –lalang sana-sini dalam ritme aktivitas mereka kala itu, tak sengaja aku berhenti tepat di belakang rumah sang Opa, sedangkan beliau dengan senyum khasnya asyik mengayam bubu,perangkap ikan yang terbuat dari bilah bambu yang ditipiskan, dijalin mirip ketupat raksasa berbentuk lonjong. Di sekitarnya – di kampung nelayan tempat sang Opa bermukim – samar terdengar para lekaki dewasa bertelanjang dada berkumpul membicarakan perihal kabar bantuan alat tangkap dari pemerintah kabupaten.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun