Mohon tunggu...
Stenly Taaluru
Stenly Taaluru Mohon Tunggu... Arsitek - masih belajar

masih belajar mencerna untuk bercerita

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Adik (n)

15 Januari 2017   01:22 Diperbarui: 15 Januari 2017   02:30 169
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: markijar.com

Borinage bisa jadi sebuah titik kulminasi tumpahan rasa getir dan sayang seorang adik pada kakaknya. Namun, seandainya Vincent Van Gogh tak pernah mengabdikan dirinya sebagai seorang misionaris di sebuah tambang batubara di Borinage, Belgia, dengan kehidupan masyarakat tambang yang miskin dan keras, kasih dan sayang Theo pada sang kakak tetap saja tak memerlukan sebuah ruang dan waktu yang spesifik untuk menampilkan bentuknya di depan sang kakak.

Perasaan sedarah yang terjalin diantara keduanya memberi kekuatan bagi sang adik untuk memaksa Vincent keluar dari kegiatan pelayanannya terhadap para buruh tambang yang getir, juga keras kehidupannya. Vincent pun akhirnya menerima ajakan saudaranya. Selanjutnya, dengan dorongan semangat dan sokongan biaya hidup dari Theo, sang kakak menempuh sekolah seni di AcademieRoyal des Beaux-Arts,Belgia, menyokong kehidupan Van Gogh dalam proses merintis kariernya sebagai pelukis, juga mencarikannya relasi dengan para pelukis – pelukis besar Eropa tempo itu, bahkan menampung lukisan-lukisan Vincent yang tak laku di pasaran.

Kejadian yang berkelindan dalam ruang hubungan antara kakak beradik selalu tampil dalam beragam wajah. Kehangatan, tapi juga kebencian sama-sama punya peluang menempati ruang hubungan itu. Tokoh kakak maupun adik juga memainkan peran dengan karakter yang beragam. Bila Theo adalah sosok seorang adik yang protagonis, aktif dan mantap pendiriannya dalam mendorong dan mendukung sang kakak, sebaliknya kita juga bisa melihat sosok seorang bungsu yang pasif dan labil dalam kisah “Anak yang Hilang[1]” yang termuat dalam buku suci saudara-saudara Nasrani kita.

Di awal paruh kedua abad XIX, seorang Belanda yang simpatik dengan kehidupan di Hindia – entah itu keindahan kehidupan yang terlihat mata juga segala ketimpangannya yang terasa dengan nurani –pernah mengutarakan sebuah perumpamaan tentang adik dan kakak, perumpamaan tentang saudara. Douwes Dekker dalam Max Havelaarmenganalogikan hubungan antara pejabat-pejabat Eropa dan pembebesar-pembesar Jawa ketika itu berturut-turut sebagai kakak-adik. Uniknya, para asisten residen berkulit putih yang secara hirarki ber-pangkatlebih rendah dari seorang bupati pribumi dapat memerintah bupati dalam hampir setiap bidang pekerjaan.

“Pejabat Eropah” harus memperlakukan pejabat bumiputera yang mendampinginya sebagai “saudaranya yang lebih muda”...... Tapi dia jangan lupa, bahwa “saudara yang lebih muda” itu sangat dicintai, - atau ditakuti – oleh orang tuanya dan bahwa jika terbit pertengkaran, kelebihan umurnya segera akan disebut-sebut sebagai alasan untuk memarahi dia, karena tidak memperlakukan “adiknya” dengan lebih sabar.[2]

Dalam hubungan kakak-adik yang dilukiskan Dekker, kita tidak disuguhkan dengan sebuah relasi yang (misalnya) dapat kita lihat pada hubungan Vincent dan Theo Van Gogh. Para pejabat Eropa tempo itu lebih mirip seekor kucing Tom dalam serial animasi garapan William Hanna dan Joseph Barbera. Setiap kekacauan yang terjadi berakhir pada hukuman bagi sang kucing, meskipun sering tikus Jerry yang memulainya.

Dari cerita Multatuli – nama penanya Douwes Dekker - kita tahu bahwa “saudara yang lebih muda” itu sangat dicintai Kerajaan Belanda karna mata keran hasil bumi Hindia berada di tangan mereka, selain juga karna faktor teknis / non-teknis dalam upaya menguasai wilayah dan sumber daya lainnya di Hindia. Tapi melalui sebutan “saudara yang lebih muda” itu, penulis Max Havelaar menyelipkan bagi kita sebuah ide tentang sifat labil seorang “adik”. Douwes Dekker menulis:

penghasilan kepala-kepala bangsa Jawa, dapat dibagi dalam empat bagian. Pertama, wang bulanan yang sudah ditentukan , kemudian suatu jumlah tetap sebagai ganti rugi atas hak-hak yang sudah dibeli, yang sudah pindah ke tangan pemerintah Belanda; ketiga suatu hadiah sebanding dengan jumlah barang yang dihasilkan oleh kabupatennya : kopi, gula, nila, kayu manis, dan sebagainya; dan akhirnya, mereka dengan sewenang-wenang mempergunakan tenaga dan barang kepunyaan rakyatnya.[3]

Douwes Dekker meninggal dunia pada tahun 1887. Setengah abad lebih sedikit sebelum Hindia Belanda akhirnya memproklamasikan kemerdekaan di bawah sebuah negara yang bernama Indonesia. Sang “kakak”, para pejabat Eropa dan seantero manusia-manusia Belanda telah sejak 1943 memilih angkat kaki dari negeri yang tiga abad lebih telah memberikan bangsa itu keberlimpahan materiil.Tapi ceritanya tentang ke-labil-an “saudara yang lebih muda” yang mewujud melalui bupati –bupati pribumidan pejabat-pejabat bumiputeratempo itu seolah ikut berjalan menapaki beberapa zaman, berbagai kekuasaan, juga bermacam generasi. Indonesia hari ini sudah tak lagi menyewakan tanah-tanah pertanian dan perkebunan untuk bangsa Belanda. Kopi, gula, nila, kayu manis, dan sebagainya juga sudah tidak dikuasai De Nederlandse Handel-Maatschappij –Maskapai Dagang Belanda yang diberi hak istimewa untuk mengatur pengelolaan hasil bumi Hindia yang selanjutnya akan dikirim ke Eropa.

Tapi kejadian tentang kesewenang-wenangan para bupati pribumidan pejabat-pejabat bumiputeradalam menggunakan tenaga dan barang kepunyaan rakyat – apa yang disaksikan oleh seorang Eduard Douwes Dekker hampir 1 ¾ abad kemarin – masih benar-benar terjadi sampai hari ini. Cerita tentang seorang gubernur yang (diduga) menerima “hadiah” dalam rangka pemberian izin tambang di sebuah daerah di pulau Celebes, dan nyonya bupati yang meminta “komisi” untuk setiap jabatan yang nantinya akan diduduki sejumlah pejabat dalam kabinet kerja sang nyonya nampaknya seolah mengalahkan kegemparan sebuah kampung yang hingar bingar menyambut seorang kontelir bernama Douwes Dekker ratusan tahun lalu di sebuah daerah bernama Lebak. Tak berhenti sampai disitu, terakhir, bahkan (juga) seorang bupati di pulau Borneo “dituduh” mengambil ( bukan tenaga atau barang-barang semisal kuda, sawah, atau perkebunan kopi kepunyaan rakyatnya), tapi istri salah seorang opsir yang notabene juga rakyatnya.

“Ke-labil-an adalah proses menuju ke-stabil-an”. Sebagian dari kita mungkin pernah mendengar potongan kalimat itu diucapkan oleh seorang komika dengan nada berceloteh.Tapi sampai kapan kita berkubang dalam ke-labil-an ini? Atau mungkin pertanyaan yang lebih relevan ialah sampai kapan kita mengorbankan nasib bangsa ini dengan sifat ke-labil-an sosok “saudara yang lebih muda” warisan para bupati-bupati pribumitempo dulu, seperti yang dikisahkan seorang Douwes Dekker?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun