Mohon tunggu...
Syurawasti Muhiddin
Syurawasti Muhiddin Mohon Tunggu... Dosen - Psikologi

Berminat dalam kepenulisan, traveling, pengabdian masyarakat

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Membangun Keluarga Berketahanan di Masa Pandemik

12 Juni 2020   00:04 Diperbarui: 12 Juni 2020   00:15 235
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Keluarga yang kuat memiliki kualitas yang membuat mereka bertahan melalui berbagai krisis dalam keluarga. Enam aspek kualitas utama tersebut yaitu apresiasi dan afeksi atau kasih sayang satu sama lain; komunikasi positif; waktu bersama yang menyenangkan; komitmen kepada keluarga; rasa kesejahteraan spiritual dan nilai-nilai bersama; serta kemampuan untuk mengelola stres dan krisis secara efektif. Keenam aspek ini dapat diasah, dapat dikembangkan oleh setiap anggota keluarga.

Mengingat keluarga merupakan sebuah sistem, setiap anggota keluarga perlu untuk mengupayakan kualitas tersebut. Keluarga sebagai sistem artinya setiap anggota keluarga adalah komponen yang saling terhubung satu sama lain, memiliki interdependensi. Apabila satu anggota keluarga mengalami masalah, anggota keluarga lain dapat ikut terpengaruh. Olehnya itu, sekecil apapun, setiap usaha yang dilakukan setiap anggota akan dapat berdampak pada keseluruhan sistem. Itulah mengapa ketika terjadi krisis dalam keluarga, semua anggota yang telah memaknai diri sebagai individu yang bertanggung jawab, perlu untuk mengambil bagian dalam upaya menangani krisis yang ada, termasuk pula dalam situasi Pandemik Covid-19 ini ketika kita harus bekerja di rumah, ketika suami atau kepala rumah tangga kehilangan pekerjaan, bahkan ketika ada anggota keluarga yang terkena Covid-19.

Bagaimana upaya untuk mengambangkan keenam aspek kualitas tersebut? Pertama, apresiasi dan kasih sayang dapat ditumbuhkan melalui saling peduli satu sama lain. Dalam hal ini, sangat perlu untuk saling merespon perasaan yang muncul, baik perasaan positif maupun perasaan darurat yang mana mungkin saja lebih dominan pada masa pandemi ini (misalnya cemas, takut, dan terbebani). Tidak hanya merespon, setiap anggota keluarga seyogyanya saling melibatkan diri dalam perasaan tersebut satu sama lain, dengan perkataan lain berempati terhadap apa yang dirasakan. Setiap anggota keluarga berperan sebagai teman satu sama lain, termasuk teman berbagi isi hati. Hubungan persahabatan ditumbuhkan dalam keluarga. Apresiasi dan afeksi juga dapat dikembangkan dengan saling menghargai individualitas masing-masing anggota keluarga. Sangat penting bagi seorang ibu ataupun istri menghargai privasi suaminya ketika bekerja dari rumah, menghargai anaknya yang harus menyelesaikan tugas kuliah di rumah, begitupula sebaliknya, ibu dan istri membutuhkan waktu-waktu untuk dirinya sendiri, tidak melulu mengurusi suami dan anak-anaknya yang berada di rumah selama 24 jam tersebut. Humor dan permainan juga perlu untuk ditumbuhkan dalam keluarga sebagai langkah mencapai aspek penghargaan dan kasih sayang ini. Meskipun keluarga menghadapi pandemi yang mungkin mengancam keselamatan, keluarga tetap perlu mencari celah untuk saling menghibur satu sama lain, mencari candaan-candaan yang bisa membuatnya melepaskan rasa cemas akibat Covid-19.

Hampir sejalan dengan upaya membangun penghargaan dan kasih sayang, membangun komunikasi positif juga dapat dilakukan dengan saling berbagi perasaan. Selain itu, anggota keluarga membiasakan diri memberikan pujian satu sama lain; suami memuji usaha ataupun pencapaian istri, begitupun sebaliknya, juga orang tua memuji anak-anaknya. Anggota keluarga menghindari saling menyalahkan dan mampu berkompromi atas perbedaan-perbedaan dan kekurangan-kekurangan yang ada. Perbedaan pandangan tak terhindarkan bahkan dalam keluarga sekalipun, sehingga sangat perlu bagi setiap anggota keluarga sepakat untuk berbeda pendapat dan tidak terus-menerus memaksakan pandangan-pandangan satu sama lainnya. Termasuk  pula jika ada salah satu anggota keluarga berbeda pandangan tentang upaya penanganan Covid-19, mungkin hal yang kita anggap sepele awalnya namun menjadi salah satu kontributor goyahnya ketahanan keluarga.

Covid-19 dapat membuat kita semua menghabiskan banyak waktu di rumah bersama keluarga. Kelihatannya, aspek inilah yang paling banyak disentuh oleh bencana ini. Tinggal bagaimana waktu bersama itu dijadikan sebagai waktu yang menyenangkan, bukan sebaliknya. Apa yang bisa kita lakukan? Perbanyak waktu bersama yang berkualitas; berkualitas dalam hal interaksi dan keterhubungan. Ada saatnya masing-masing keluarga melepaskan gadget dari tangan masing-masing dan mulai mencari alternatif kegiatan lain bersama, mungkin bermain kartu, menonton film, tebak-tebakan, dan lain sebagainya.  Ingatlah bahwa hal-hal baik memang memerlukan waktu. Adanya Work From Home (WFH) ini dapat menjadi kesempatan untuk setiap anggota keluarga menikmati keberadaan anggota keluarga lainnya. Kapan lagi ayah yang bekerja atau ibu yang bekerja memiliki waktu lebih untuk istri atau suaminya serta anak-anaknya? Di masa pandemi, keluarga dapat menciptakan waktu menyenangkan yang simpel, tidak melulu harus tamasya ke luar rumah. Makan malam bersama di taman belakang rumah adalah momen yang simpel tapi bisa bermakna. Ngemil bareng di beranda depan rumah pun dapat menjadi momen yang penuh energi positif.

Selanjutnya, komitmen terhadap keluarga menjadi salah satu kualitas utama dalam membangun keluarga berketahanan. Komitmen bahkan menjadi pondasi dalam membangun keluarga yang kuat. Komitmen dapat dipupuk dengan saling percaya, saling jujur, dapat diandalkan satu sama lain, saling berbagi, dan tentunya saling setia. Bagi keluarga yang mulai mengalami krisis komitmen, adanya WFH dan situasi Covid-19 secara umum, dapat membantu keluarga tersebut memperkuat ataupun memperbarui komitmennya kembali terhadap keluarga.

Rasa kesejahteraan spiritual (spiritual well-being) dan nilai-nilai bersama juga merupakan kualitas utama suatu keluarga yang kuat. Kualitas ini didukung oleh adanya harapan, iman atau keyakinan, ketakwaan, internalisasi nilai-nilai kebaikan, serta pengajaran etika. Masa pandemi ini dapat menjadi momen untuk menguatkan hal-hal tersebut, misalnya melalui ibadah bersama yang dilakukan di rumah, waktu bersama untuk saling mengingatkan, melakukan donasi untuk pihak yang terdampak Covid-19, dan seterusnya. Masa-masa di rumah ini juga memungkinkan orang tua melakukan pengawasan yang lebih terhadap anak-anaknya sehingga dapat melakukan antisipasi-antisipasi terkait pengendalian perilaku apabila terjadi pelanggaran-pelanggaran terhadap aturan keluarga.

Terakhir, keluarga yang kuat tentu saja merupakan keluarga yang mampu mengelola stres dan krisis secara efektif. Hal ini dapat dilihat dari kemampuan keluarga untuk melakukan adaptasi dan terbuka terhadap perubahan-perubahan. Keluarga juga memandang krisis yang ada sebagai tantangan dan peluang, seperti dengan adanya Covid-19 ini, sehingga anggota keluarga dapat tumbuh bersama melalui krisis. Keluarga yang mampu mengelola krisis adalah suatu keluarga yang resilien, yang tentunya juga membutuhkan resiliensi setiap anggota keluarga. Keluarga yang mampu mengatasi stres dan mengelola krisis dapat didukung oleh adanya boundery atau batas-batas sistemnya yang tidak kaku namun juga tidak telalu longgar; terbuka terhadap informasi-informasi namun tidak terbawa arus informasi yang ada hingga menjadi sebuah sistem yang dikendalikan oleh lingkungannya. Keluarga tersebut juga memiliki kontrol perilaku yang efektif terhadap semua anggota keluarga, memiliki pembagian peran yang jelas dan tersebar secara adil, serta tentunya mampu menyelesaikan masalah-masalah, baik yang bersifat instrumental maupun afektif.

Setiap keluarga memiliki ‘monster’ nya masing-masing dalam berbagai bentuk yang dapat menghancurkan keluarga itu dari dalam secara perlahan-lahan bahkan sekaligus.  Bentuk monster tersebut seperti tidak adanya apresiasi, kurangnya komunikasi positif, kurangnya komitmen, tak adanya nilai-nilai yang dianggap sebagai nilai utama keluarga, tidak adanya kontrol perilaku yang jelas, pembagian peran yang tidak sesuai, masalah yang tak terselesaikan, sikap egois, dan sebagainya. Semua dapat diperparah oleh situasi di tengah pandemik ini. Agar ‘monster’ tersebut tak menghabiskan energi dalam keluarga hingga membuat sistem keluarga entropi, menjadi kropos, setiap anggota keluarga perlu belajar untuk membuat monster itu semakin kecil hingga menghilangkannya sama sekali; tidak membiarkan monster itu besar dan semakin besar hingga menelan mereka sendiri. Ketika kita berbicara dalam level keluarga, kita perlu memahami bahwa setiap anggota perlu memperoleh hasil yang terbaik dan itu bisa diperoleh melalui upaya setiap anggotanya yang saling terhubung satu sama lain.

Masa pandemik Covid-19 yang mengharuskan kita lebih banyak berdiam di rumah seyogyanya menjadi waktu untuk merefleksikan kekuatan keluarga kita dan membuat upaya-upaya untuk semakin menguatkannya. Ketika akhirnya kita menyadari bahwa keluarga kita telah berhasil melalui krisis, termasuk  Covid-19 dan berbagai problematika yang dibawanya, saat itu keluarga kita semakin kuat, semakin berketahanan. Kita pun bisa mengatakan bahwa setiap tragedi akan melahirkan kekuatan baru.

Referensi:

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun