Mohon tunggu...
Syurawasti Muhiddin
Syurawasti Muhiddin Mohon Tunggu... Dosen - Psikologi

Berminat dalam kepenulisan, traveling, pengabdian masyarakat

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Membangun Keluarga Berketahanan di Masa Pandemik

12 Juni 2020   00:04 Diperbarui: 12 Juni 2020   00:15 235
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Apa yang harus kulakukan? Aku harus berakhir di rumah, tinggal di rumah selama 24 jam.”

“Aku merasa stres mendengar keluhan-keluhan dari ayah dan ibu.”

“Istriku terlalu banyak bicara. Aku tak bisa fokus untuk bekerja.

Mungkin, sebagian di antara kita ini pernah melontarkan kalimat-kalimat tersebut. Bagi sebagian orang, ‘di rumah aja’ selama masa pandemik Covid-19 sebagai akibat dari kebijakan pembatasan sosial berskala besar dan himbauan social distancing menjadi bencana tersendiri. Pasalnya, rumah bagi mereka mungkin merupakan tempat yang penuh dengan masalah-masalah tak terselesaikan, penuh dengan omelan tiada ujung, serta sederat gangguan-gangguan lain yang membuatnya memang merasa lebih nyaman dan bahagia ketika berada di luar rumah.

Ada orang-orang di antara kita yang tidak bisa dengan mudah menerima aturan “work from home”. Mereka merasa tidak bisa berkonsentrasi di rumah karena berbagai interupsi yang datang dari anggota keluarga. Mereka merasa sulit untuk meningkatkan produktivitas ketika berada di rumah yang notabene merupakan tempat beristirahat. Ada yang pada akhirnya bisa beradaptasi dengan kondisi tersebut, menerima dan mulai menjalani kebiasaan baru bekerja dari rumah dengan sekelumit tantangannya. Namun, ada pula yang tetap tidak bisa menyesuaiakan diri hingga akhirnya menimbulkan konflik-konflik baru dalam keluarga.

Keluarga, seringkali dijadikan kambing hitam atas ketidakmampuan kita mengelola pikiran dan perasaan serta waktu kita selama masa pandemi ini, ketika kita harus tinggal di rumah dan bekerja dari rumah. Mengapa kita tidak mencoba melihat dari sisi yang lain? Adanya pandemi ini seyogyanya tidak menimbulkan konflik keluarga yang baru. Justru masa ini menjadi masa bagi kita merekatkan hubungan kekeluargaan kita, membangun keluarga kita yang lebih berketahanan. Covid-19 adalah bencana, namun dibaliknya selalu mungkin menumbuhkan harapan-harapan sebagai satu keluarga.

Mengapa kita perlu membangun keluarga yang berketahanan dan masa pandemi ini bisa dijadikan momentum untuk menuju ke arah itu? Keluarga adalah bagian terdekat bagi hubungan manusia. Terlepas dari perdebatan tentang makna keluarga itu sendiri, setiap orang dilahirkan dalam apa yang disebut sebagai ‘keluarga’ baik itu yang didasari oleh suatu pernikahan legal maupun tidak. Setiap orang tak pernah memilih di keluarga mana dia ingin dilahirkan. Ketika seseorang lahir dia akan bertemu dan berinteraksi pertama kali dengan orang yang melahirkannya yang kemudian disebutnya sebagai keluarga. Dalam tulisan ini, keluarga yang dimaksud adalah keluarga yang dibangun di atas sebuah ikatan pernikahan yang legal dari segi agama dan hukum oleh pasangan suami-istri sehingga keluarga ini adalah keluarga yang memiliki ikatan biologis (bukan keluarga imajiner), terdiri dari ayah, ibu dan anak. Saat ini, berkembang definisi keluarga yang tidak terbatas pada adanya ikatan pernikahan ataupun ikatan biologis (tidak akan dibahas dalam tulisan ini).

Dalam keluarga tersebut, kita dibesarkan. Kita ditanamkan nilai-nilai tertentu untuk pertama kalinya. Kita diajarkan tentang kehidupan di dunia oleh kedua orang tua kita. Kata ilmu sosiologi, keluarga adalah media sosialisasi dasar yang paling dekat dengan individu.

Ketika suatu keluarga bermasalah, akan ada banyak masalah sosial pula yang terjadi. Ini adalah konsekuensi dari keluarga sebagai tempat pendidikan mendasar. Keluaran dari keluarga yang merupakan individu-individu akan masuk ke dalam sistem lebih yang luas, yaitu masyarakat. Individu-individu tersebut yang akan berkiprah dalam masyarakat. Dari keluarga dapat muncul pemimpin hebat yang adil, namun dari keluarga pula dapat muncul pemimpin yang sewenang-wenang. Setiap keluarga dapat memunculkan calon-calon generasi produktif yang berfungsi secara optimal sebagai individu dan masyarakat. Akan tetapi, disadari atau tidak, keluarga-keluarga itupula yang dapat menempatkan psikopat-psikopat berdarah dingin dalam masyarakat, orang-orang antisosial yang narsis, pencuri, pembunuh, pecandu narkoba, pelaku kekerasan, pelaku pelecehan seksual dan lain sebagainya. Pada suatu titik, kita mungkin akhirnya menyadari bahwa cerita-cerita di balik perilaku menyimpang awalnya membuat kita marah, namun akhirnya akan mematahkan hati kita, membuat kita merasa sedih karena ternyata perilaku-perilaku itu berakar dari pengalaman dalam keluarga.

Tidak ada keluarga yang sempurna. Memang benar adanya. Dalam keluarga, kita semua pernah bertengkar, saling cekcok dan berselisih. Kita semua pernah saling membelakangi, tidak berbicara satu sama lainnya. Namun pada akhirnya keluarga adalah keluarga, tempat kita akan kembali, tempat di mana cinta akan selalu berada di sana. Tempat kita memperoleh dan memberi cinta sepanjang hidup kita, yang memberikan kita kebahagiaan dan kesejahteraan psikologis (psychological well-being). Itulah alasan pentingnya mencapai keluarga yang berketahanan, yaitu keluarga yang mampu mengelola sumber daya keluarga dan menanggulangi masalah yang dihadapi keluarga untuk mencapai tujuan-tujuan keluarga (Sunarti, 2008). Ketidaksempuraan dalam keluarga tersebut yang mendorong setiap anggota keluarga untuk mencapai aspek-aspek yang mendukung ketahanannya.

Aspek-aspek apa saja yang mendukung keluarga berketahanan? Adalah John Defrain, David Oslon, dan Nick Stinnet, peneliti utama dalam bidang keluarga berketahanan ini. Mereka mewawancarai dan mengumpulkan kuesioner dari pasangan-pasangan dan keluarga-keluarga yang percaya bahwa mereka merasa bahagia bersama. Mereka percaya bahwa mereka merasa puas hidup bersama, mereka mencintai satu sama lain, dan mereka memiliki keluarga yang kuat. Peneliti meminta mereka mengungkapkan kekuatan-kekuatan dari keluarga mereka. Pola kekuatan keluarga ini mirip dan konsisten dari berbagai budaya dengan struktur keluarga yang beragam, mulai dari keluarga inti hingga keluarga besar; dengan lingkungan tempat tinggal yang beragam, mulai dari desa hingga kota; juga kondisi geografis yang berbeda, termasuk iklim. Mereka kemudian merumuskan “The International Family Strengths Model” atau Model Kekuatan Keluarga Internasional.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun