Mohon tunggu...
Syukur Umar
Syukur Umar Mohon Tunggu... Dosen - Dosen, peneliti/penulis, dan penikmat musik dan perjalanan wisata

Menulis adalah kepastian hidup......

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Tinjauan Mitologi serta Agama Gempa Palu 7.4 dan Pandemi C-19 (Bagian 2)

10 Desember 2021   12:40 Diperbarui: 10 Desember 2021   13:03 176
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Gampa 7.4 yang diikuti tsunami dan likuefaksi menjadikan bencana alam tersebut mengglobal. Gempa 7.4 tersebut menjadi topik utama pembicaraan netizen dunia. Dalam waktu enam jam setelah kejadian, tagar #Pray for Palu# dan #Pray for Donggala# menjadi dua dari lima tagar yang paling banyak dibicarakan di twitter level dunia. Bahkan NASA mengemukakan bahwa gempa Palu tersebut adalah kejadian langka dan kejadian seperti itu hanya pernah terjadi 15 kali sepanjang catatan sejarah geologi. Keunikannya terletak pada kecepatan gelombang seismik yang mencapai 14.760 km per jam, melewati kecepatan normal seismik yaitu 9000 hingga 10.800 km per jam.

Kurang lebih setahun setelah gempa Palu yang mengglobal itu, bencana penyakit global atau pandemi Covid-19 muncul dengan awal penyebaran di Wuhan, Tiongkok. Pemerintah Tiongkok mengatakan bahwa Covid-19 muncul di penghujung tahun 2019. Namun laporan jumlah manusia yang terinfeksi dimulai pada tanggal 22 Januari 2020, yaitu sebanyak 970 orang. Di awal pandemi televisi menyuguhkan bagaimana dahsyat dan mengerikannya pandemi C-19. Hingga kini terdapat 267 juta kasus C-19 dan telah menelan korban meninggal sebanyak 5,28 juta jiwa.

Balia, Gempa 7.4 dan Agama

Upaca balia muncul di saat pesta ikatan persaudaraan antara Sawerigading dengan Ratu Nggilinayo, di mana pesta yang membatalkan pertempuran menjadi sebuah persaudaraan tersebut menyajikan seni bunyi-bunyian (gendang, suling, gong, dan tambur) yang memiliki daya majik sehingga orang sakitpun sembuh dan turut menghadiri pesta (Safrillah, 2017). Momen inilah yang menjadi asal mula upacara balia (Misna, 2010). Lebih lanjut dijelaskan bahwa ada dua elemen modernitas yang telah memupuskan balia, yang nota bene ingin direeksistensi oleh Festival Pesona Palu Nomoni (FPPN). Yang pertama adalah modernitas ajaran agam Islam yang dianggap lebih rasional dengan kitap suci Al-Quran, dan yang kedua adalah ilmu kesehatan modern yang melakukan praktik penyembuhan penyakit secara lebih rasional. Namun demikian, hingga kini, masih terdapat masyarakat yang menganggap bahwa balia juga rasional dalam mengatur hubungan mereka dengan Sang Maha Pencipta, sekalipun teks-teks suci mereka tak sebesar kitab suci agama-agama yang ada.

Ritual balia tidak hanya digunakan untuk tujuan penyembuhan seseorang dari penyakit. Balia merupakan budaya ritual yang penting bagi masyarakat Kaili kuno karena juga digunakan sebagai sebuah pendekatan spiritual untuk berbagai tujuan, terutama pada usaha pertanian dan membuka hutan. Untuk menyukseskan usaha pertanian, masyarakat Kaili kuno menggunakan balia dalam konteks meningkatkan kesuburan tanah, menolak hama penyakit tanaman, dan tentunya untuk keselamatan petani. Dan balia telah berkembang menjadi budaya seni yang memiliki dimensi hiburan bagi masyarakat luas. Kendatipun balia digunakan untuk berbagai hal dan juga sebagai sebuah hiburan, ritual tersebut bukan sesuatu yang enteng bagi masyarakat Kaili. Pengobatan balia dilakukan bila metode pengobatan lain tidak efektif. Jadi bukan pengobatan yang serta merta melainkan sebagai pilihan terakhir.

Heyder Affan dalam BBC News Indonesia tanggal 19 Oktober 2018 menulis pendapat beberapa sumber tentang keterkaitan upacara balia yang dianggap mengandung kesyirikan dengan gempa Palu 7.4. Ada yang setuju bahwa kesyirikan berkontribusi terhadap kejadian gempa dengan alasan bahwa beberapa kali pelaksanaan upaca balia (Festival) selalu ada bencana. Tahun sebelumnya hujan deras menyertai perayaan Festival Palu Nomoni yang pada saat itu juga menggelar balia. Bahkan ada tokoh agama yang mengatakan bahwa ada teks dalam agama yang menyatakan bahwa praktik syirik mempercepat datangnya musibah. Namun demikian umumnya mereka mengakui bahwa faktor patahan Palu-Koro sebagai fakta, dan musibah dipercepat atau diperparah oleh "kesyirikan".  Mereka yang berpandangan moderat beranggapan bahwa tidak ada hubungan antara kesyirikan dengan bencana alam. Palu Nomoni yang menggelar ritual balia dilaksanakan tahun 2016, 2017, dan 2018. Ketiga pagelaran tersebut selalu disertai bencana, yaitu 2016 gempa Bora, 2017 hujan badai, dan 2018 gempa Donggala 7.4.

Pemerintah Kota Palu sendiri sudah memastikan tidak menggelar lagi Festival Pesona Palu Nomoni (FPPN). Pemerintah Kota akan memberikan perhatian dengan sungguh-sungguh terhadap masyarakat yang terdampak Gempa 7,4 yang diikuti tsunami dan likuifaksi. Dan hingga kini tidak ada lagi pagelaran FPPN. Ada ketakutan dalam masyarakat bila FPPN kembali menggelar ritual balia. (S.U., 10/12/021)

Bersambung.............

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun