Mohon tunggu...
Syukron Adzim
Syukron Adzim Mohon Tunggu... Freelancer - Menuliskan imajinasi

Surel : syukronadzim@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Memaknai Papua: Anak Emas yang Ditirikan

19 Agustus 2019   17:26 Diperbarui: 20 Agustus 2019   20:34 141
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Papua mannen in Irian Jaya (KITLV, Circa 1920)

Pada akhir pekan ini, halaman muka media baik cetak maupun media elektronik menampilkan laporan masalah tentang aksi Kericuhan di Papua. Aksi unjuk rasa itu merupakan buntut dari tindakan rasisme terhadap mahasiswa papua yang terjadi di Jogjakarta dan Malang. Puncaknya ialah kericuhan hingga long march yang menyebabkan kantor DPRD Manokwari terbakar. 

Dari gambaran di atas terlihat bahwa kasus rasisme memiliki efek yang sensitif bagi rakyat papua. Bagi rakyat Papua kasus rasisme bukan kasus baru melainkan kasus sering terjadi bahkan kasus semacam ini telah terjadi berulang-ulang. 

Akar permasalahan beraneka ragam, seperti penghinaan fisik--warna kulit, rambut; kesetaraan hak--hukum, pendidikan, ekonomi, sosial-budaya, yang berbeda dengan suku lain utamanya Jawa, Sunda, Batak, Bugis dan lain-lain. 

Dengan berlanjutnya kondisi ini Papua akan semakin tidak aman dan semakin bergejolak hingga akan menimbulkan dampak yang paling buruk seperti munculnya gerakan separatisme yakni suatu gerakan untuk mendapatkan kedaulatan yang bertujuan untuk memisahkan diri dari bagian wilayah Indonesia. Salah satu gerakan yang ingin mewujudkan itu ialah Organisasi Papua Merdeka.

Jika melihat sejarah kebelakang, kondisi semacam itu berawal dari akhir masa revolusi fisik tahun 1950-an. Ketika itu Belanda bersedia mengakui kedaulatan Indonesia atas bekas wilayah Hindia Belanda kecuali Papua bagian Barat. 

Bagi Belanda wilayah Papua dan sekitarnya akan dijadikan sebuah negara baru yang menginduk pada ratu Belanda. Namun demikian, keinginan itu tidak terwujud hingga Belanda melepaskan Papua Barat ke Indonesa lewat Perjanjian New York tahun 1962. 

Setelah resmi menjadi bagian wilayah Indonesia, Pemerintah ingin segera mengatur dan membangun papua utamanya struktur pemerintahan dan infrastruktur. Meskipun kebijakan-kebijakan pemerintah secara teratur membangun papua seperti program infrastruktur, kesehatan, pendidikan dan transmigrasi tetapi dalam kenyataanya pembangunan di Papua dinilai lambat dibandingkan daerah lain.

Berangkat dari hal tersebut, ketidakpuasan atas janji-janji pemerintah membuat rakyat papua bertindak unjuk rasa turun ke jalan hingga memberontak. Puncak dari pemberontakan itu ialah dibentuknya wadah organisasi yang kenal dikenal dengan Organisasi Papua Merdeka (OPM) tahun 1965. Di antara pentolan OPM yang terkenal adalah Nicolas Jouwe dan dua komandan OPM, Seth Jafeth Roemkorem dan Jacob Hendrik Prai. Dari gerakan itu telah banyak menimbulkan unjuk rasa hingga deklarasi Republik Papua Barat.

Bertolak belakang dari gambaran di atas, Papua merupakan sebuah surga yang tersembunyi di timur Indonesia. Sebagai provinsi terluas di Indonesia, Papua dikaruniai potensi yang besar baik alam dan manusianya. Alam Papua merupakan dataran yang menyimpan emas terbesar dan sumber tembaga ketiga terbesar di dunia yakni di tambang emas Grasberg yang sekarang dikelola oleh PT Freeport Indonesia. Meskipun pengelolaanya masih 51:50 persen bisa dibayangkan jika pengelolaan seutuhnya dipegang oleh Indonesia. Sedangkan manusia Papua merupakan sumber daya yang unggul, kuat, dan tanggung.

Tampaknya hal-hal yang sekarang terjadi -pemberontakan di Monokwari- merupakan salah satu wujud dari sifat spiral sejarah yakni kejadian yang akan terus terjadi secara kontinue. Kejadian masa lalu yang sudah terjadi sewajarnya dijadikan pelajaran supaya tidak terulah kembali sekarang, besok atau bahkan masa yang datang. 

Papua dengan segala pesonanya merupakan anugerah yang patut kita syukuri. Timbulnya gejolak yang sedang terjadi merupakan kesalahpahaman yang belum ditemukan solusinya. Tuntutan hak-hak rakyat Papua semestinya harus didengar dan tindaklanjuti karena mereka juga bagian dari rakyat Indonesia yang semestinya menikmati haknya yaitu hak untuk mendapat nilai kesetaraan yang sama dengan yang lain. 

Alangkah baiknya jika pemerintah baik pak presiden Jokowi beserta jajarannya menyempatkan hadir dan menjadi penengah untuk menyelesaikannya konflik serta upaya untuk melakukan gerakan radikal oleh oknum-oknum segera ditumpas. Papua sejatinya tidak menuntut lebih hanya saja ingin diperhatikan karena mereka bukan anak emas yang ditirikan.

*Opini di atas sejatinya banyak kekurangan. Besar harapan ada koreksi dari pembaca. Terima Kasih.

*Penulis: Syukron Adzim (Mahasiswa Sejarah Undip)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun