Mohon tunggu...
Syta Dwy Riskhi
Syta Dwy Riskhi Mohon Tunggu... Administrasi - Move

Simpel dan santai

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Pagi...

14 November 2018   17:42 Diperbarui: 6 September 2020   21:04 235
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Pagi tadi sengaja berangkat lebih awal supaya kebagian bus yang sedikit longgar, tapi nampaknya bus tidak sebanyak dulu dan memang bukan bus yang biasanya tetapi sama saja penuh sesak dan berdesak-desakan, ketika naik pun penumpang sudah sampai pintu hingga harus berpegang kuat supaya tidak jatuh. Aku yang mengharap mendapat bus longgar hanya bisa tersenyum kecut karena tidak sesuai harapan, meski bus sudah penuh hingga melebihi kapasitas supir masih berhenti untuk menaikkan penumpang, aku hanya diam dan bergumam memang jika tidak naik sekarang mungkin mereka bisa telat masuk kantor atau sekolah.

Hingga seorang siswi yg kesulitan berdiri protes pada kondektur, aku hanya mendengarkan saja adanya perdebatan kecil itu, yg membuatku mengangguk kondekturpun mengeluhkan hal yang sama ia meminta penumpang protes pada supir saja toh dia juga kesulitan berdiri hingga badannya miring tak karuan. Tetapi keduanya tertawa hanya keluhan kecil tak sampai menimbulkan masalah. Akupun ikut tersenyum tanpa mereka tahu ku mendengar dan memperhatikan adegan mereka.

Tak karuan memang melihat kondektur bus yang berdiri menggantung di pintu dan mencoba melindungi penumpangnya bertahan dengan laju bus yang kencang, sampai pada kejadian tak terdugapun terjadi, topi sang kondektur terbang tertiup angin ia tak kuasa menahan topinya yang terserang angin jalanan, kondektur hanya bisa meringis di sertai teriakan beberapa penumpang yang menyayangkan kepergian topi itu. Aku masih diam dan sesekali menatap wajah kondektur itu, ia masih menengok kebelakang dimana arah topi itu terbang meninggalkannya. Dalam hati ku bergumam semoga ia ikhlas dan mendapat ganti yang lebih baik. Sedangkan supir bus tak tahu apa saja yang telah terjadi di belakangnya.

Masih menatap ke belakang seakan meratapi kepergian si topi, ia mengakui rasa kehilangannya dan merasa kecewa karena topi itu terbang dari kepalanya. Kini rambutnya yang berponi berkibar tertiup angin, sesekali ia menggerakan kepala untuk melempar poni itu dari dahinya poninya cukup panjang hingga menutup mata jika jatuh kewajahnya.

Tepat di depan sekolah penumpang turun hampir enampuluh persen penumpang adalah siswa-siswi sekolah, bus akhirnya tak kelebihan muatan sampai akupun mendapat tempat duduk untuk melanjutkan perjalananku. Sembari duduk dan membayar pada kondektur bus akupun ingat sesuatu, yaa tentang ongkos naik bus, aku membayar sebesar empat ribu rupiah dan itu sudah cukup, tentu dengan uang duaribuan dua lembar, tetapi jika aku membayar menggunakan uang limaribu ruiah, kondektur tidak akan mengembalikan seribu rupiah, jadi aku membayar ongkos sebesar limaribu rupiah. Tetapi jika aku membayar sebesar empat ribu rupiahpun kondektur tidak akan meminta lagi. memang unik untuk hal ongkos satu ini.

Sudahlah memang begitu lebih mudah, daripada harus mengembalikan uang seribu rupiah yang belum tentu ada, lagipula bus sekarang hanya ramai disaat-saat tertentu saja hingga penghasilan yang tidak menentu. Kelebihan dan kekurangan sudah tentu ada, tetapi pagi tadi memang menarik bagiku selama naik bus umum yang tidak sesuai khayalanku.

Batang, Oktober 18

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun